Bagaimana kain mulai masuk ke tanah Nusantara tepatnya di Tanah Jambi?
Tujuan para pelaut dan pedagang Inggris datang ke HindiaTimur (Nusantara) pada awal abad ke 18 adalah untuk berdagang rempah-rempah yang mempunyai nilai tinggi pada saat itu. Namun diluar bayangan mereka, setibanya di Sumatera, lebih tepatnya di daerah Muara Sungai Batanghari, penjualan terhadap rempah-rempah sangat kecil peminatnya. Bahkan barang dagangan berupakain berbahan wol juga tidak diminati oleh pedagang lokal.
Pedagang Nusantara yang saat itu sudah mempunyai banyak stok produk rempah-rempah lebih tertarik pada produk yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, yaitu Kain Belacu (calico) dan garam cina (kalium nitrat), dan pada saat itu kedua produk tersebut mempunyai harga jual yang sangat menguntungkan.
Dari pengalaman dan fakta yang ada dipasar inilah, Inggris melalui EIC (kantor dagang) segera membuat pabrik-pabrik tekstil kelas rendah dibeberapa wilayah daerah India. Bahkan mereka mebuat kantor dagang di Surat dan Pantai Coromandel untuk memudahkan barter produk kesukaan orang Nusantara degan rempah-rempah yang mereka butuhkan.
Perjalanan Panjang Kain di Nusantara
Kajian mengeani kompleksitas permasalah yang terjadi diawal zaman kolonialisme sedikit banyak ikut menjelaskan tentang perekmbangan manusia dan masyarakat penghuni kepulauan Nusantara. Hal ini telah diteliti oleh seorang antropolog dari Hull University, Fiona Kerlogue dengan mengambil obyek batik, tenun, ikat hingga soket.
Pada awal abad ke 17 terdapat kendala kekurangan modal yang dihadapi oleh Inggris dalam hal meningkatkan kapasitas produk daganngannya. Bahkan kendala juga muncul saat situasi perdagangan mengalami depresi akibat merebaknya wabah sampar. Perusahaan dagang Inggris juga tertimpa masalah korupsi yang parah. Pada saat itu, banyak pedagang dan awak kapal Inggris yang hanya mementingkan kekayaan untuk diri sendiri bukan perusahaan.
Tidak hanya itu, bahkan dikalangan raja-raja nusantara yang mempunyai keahlian dalam berdagang mampu mengeploitasi pasar yang saat itu dianggap masih lemah.
Kendala terberat yang dialami adalah kualitas kain yang diproduksi di India didasarkan pada kualitas industri rumahan, sehingga kualitas kain blacu tidak merata. Besar dan ukurannya tidak sama, warna satu dengan yang lain berbeda, bahkan kehalusan kain yang dibuat sering kali tidak masuk dalam standart kelayakan pasar.
Untuk kendala klasik yang dihadapi waktu itu lebih pada jarak, pengangkutan, waktu tempuh, hingga Gudang. Iklim tropis yang rentan akan serangga, rayap, cacing. Dan jamur juga sangat mempengaruhi umur produk, sehingga kain blacu menjadi cepat rapuh.
Pada bulan September 1615, tibalah kapal the Attendant yang mendarat disekitar Jambi di wilayah timur Pantai Sumatra untuk mencari sumber lada dan emas. Kapal ini membawa banyak kain yang saat ini banyak diburu orang. Dan pada tahun 1682, Inggris terpaksa angkat kaki setelah pabriknya dibakar habis, modal habis diutang oleh para raja nusantara dan tidak dapat tertagih.
Posisi kota Jambi yang saat itu berada di Pelabuhan Sungai Batanghari merupakan tempat startegi karena menjadi perantara antara Cina dan India. Bahkan menurut catatan Dinasti Tang, pada abad ke-7 dan abad ke-9 utusan dari Jambi sudah berkunjung ke Cina. Catatan tersebut merekam bahwa Jambi sebagai ibu kota Kerajaan Melayu. Pada abad ke-11, pelabuhan tercata sebagai Ibu Kota Sriwijaya.
Menurut catatan Chau Ju-Kua, petugas pelabuhan cina, menyebutkan bahwa pada abad Ke-13 Jambi sangat aktif sebagai pelabuhan ekspor tekstil. Kain impor dibarter dengan berbagai macam getah pohon yang bisa dipakai untuk banyak hal. Selain itu terdapat komodita seperti cengkeh, kulit kura-kura hingga kapulaga. Saudarag arab biasa membawa serat katun dan pedang. Sedangkan saudagar Cina membawa kain sutera dan serat emas yang ditenun menjadi songket.
Jambi telah memiliki songket yang sudah dikenal dunia dengan tema kultural yang paling menonjol. Kebutuhan kain impor mempunyai permintaan yang paling tinggi. Kain-kain berhias asal Gujarat, ikat tenun sutera dan katun batik cap Coromandel menjadi seragam pejabat kerajaan. Produk yang diimpor oleh kerajaan merupakan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat. Adat melayunya adalah “Serah Turun Jajah Naik”. Kerajaan memberikan rakyat peralatan kerja dan Bertani, seperti parang, pisau, pacul, celurit, arang kayu, katun bakalan, kain biru , dan garam. Sebagai balasannya rakyat menyerahkan beras, berbagai getah pohon, emas, gading, tanduk badak, buah rotan dan rotan.
Pada abad ke-7 menurut catatan sejarah, Jambi sudah berdagang dengan India. Tetapi kedatangan agama Islam adalah disaat pergerakan kebutuhan tekstil yang luar biasa dan jejak ini tercatat pada abad ke-15.
Perkembangan kain di Jambi terjadi hingga saat Inggris berhasil mendirikan pabrik tempat mereka bisa menyimpan kain-kain dan mengolah hasil bumi lada. Meskipun kedatangan Inggris tertinggal dari Belanda, namun demi memperebutkan dominasi komoditas lada Inggris berkukuh tidak akan menyerah. Dan demi lada yang saat itu menjadi sumber utama Jambi, Inggris dan Belanda tetap berseturu. Dan kain-kain mulai ramai masuk ke Jambi.