BULETIN
TEKSTIL.COM/ JAKARTA – Di abad 6 hingga 12 Masehi, kain jauh lebih
berharga dibanding emas dan perak. Ini yang kita harus ketahui, mengapa
demikian?. Seseorang merasa lebih dihargai bila ia diberikan kain, dibanding
gelang emas maupun perak.
Dari
ratusan prasasti yang telah dipelajari para arkeolog, berkenaan dengan
penganugerahan SIMA, yaitu suatu daerah yang diberikan pembebasan pajak. Di
situ kain (wastra) hampir selalu disebut sebagai salah satu hadiah yang
diberikan pejabat kerajaan sebagai anugerah status sima kepada kepala wilayah
sebagai simbolisasi anugerah. Artinya dengan wastra tersebut maka seseorang
yang diangkat pangkat dan derajatnya sehingga dia diperkenankan menggunakan
jenis kain tersebut.
Pada relief Borobudur ini bisa di amati, bahwa masing-masing tokoh dalam adegan ini menggunakan pakaian yang berbeda. Disitu dapat disimpulkan mana yang ststusnya lebih rendah dan lebih tinggi.
Sumber: buletintekstil.com
Dari beberapa prasasti menyebutkan kegunaan dan
larangan dalam mengenakan jenis kain tertentu dan ragam warna-warni benang
tertentu. Dari situ dapat di simpulkan bahwa sejak pada budaya Jawa kuno telah
terdapat diskriminasi atau dengan kalimat lain diartikan sebagai simbolisasi
dalam berbusana.
Pada prasasti itu di tulis bahwa kain atau wastra yang digunakan masyarakat biasa berbeda dengan kain untuk busana para pejabat, bangsawan, atau raja. Dari penyebutan benang-benang berwarna warni, awalnya dapat disimpulkan kain yang dianggap berharga itu berupa kain dengan stuktural disain, yang cara menghiasnya saat kain ditenun. Bukan dihias setelah menjadi kain (bukan surface disain). Dari prasasti abad ke enam Masehi atau yang lebih awal lagi, diperoleh gambaran bahwa pada masyarakat Jawa telah terdapat ciri berpakaian berdasarkan status sosialnya. Hal ini dapat diketahui dari relief-relief candi yang dibuat pada era tersebut. (Putri R. H., 2018).
Kalau menurut dugaan para arkeolog, motif kain tercermin pada relief candi seperti gambar ini, maka kemungkinannya bukan motif tenun, tetapi motif sulam.
Sumber: buletintekstil.com
Nah, jika mengacu pada kata-kata di atas, bila
hiasan kain di era itu tergambar pada ukiran/ pahatan di candi, berarti kira2
bentuknya seperti gambar di atas? Maka jelas yang dimaksud bukan tersusun dari
teknik menenun, melainkan teknik menyulam? Kain dengan teknik menyulam pada abad
ke 500an (abad ke 6 Masehi), berarti kain itu di impor dari China?, dibawa
pedagang atau pengelana dari Cina?
Secara umum, fungsi berpakaian adalah untuk menutupi dan melindungi diri. Namun pada masyarakat yang lebih tinggi status sosialnya, berpakaian juga merupakan cara untuk menghias tubuh. Pada kaum brahmana maupun pendeta digambarkan mereka berpakaian dengan jubah terbuat dari kain katun polos dan bahu kanannya terbuka. Dalam prasasti disebutkan bahwa pakaian yang dikenakan para pendeta itu disebut sinhel.
Sumber: buletintekstil.com
Di Jawa di era itu baik pria maupun wanita tidak ada yang mengenakan pakaian penutup dada. Mereka hanya mengenakan penutup bagian bawah tubuh, berbentuk kain panjang berbahan katun. Rambut mereka dibiarkan tergerai. Namun bagi kalangan bangsawan dan raja mereka mengenakan kain dengan hiasan bergambar bunga yang tipis dalam bentuk selendang guna menutup bagian atas tubuh. Kalangan ini juga mengenakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas.
Sumber: buletintekstil.com
Para perempuan muda menutupi tubuh mereka dengan
kain katun dan mengenakan ikat pinggang dengan hiasan berupa sulaman.
Jika dilakukan pengamatan secara lebih spesifik
pada jenis kain yang dipakai, maka jenis kain pun menunjukkan identitas sosial.
Supratikno Rahardjo pada buku tulisannya yang berjudul “Peradaban Jawa: dari
Mataram Kuno sampai Majapahit akhir” (2011), mengungkapkan “berdasarkan data prasasti pakaian laki-laki biasanya disebut
Wdihan. Sedangkan pakaian untuk perempuan disebut kain atau ken”.
Disebutkan
juga bahwa beberapa jenis kain yang dikenal dalam sumber-sumber Jawa Kuno, kain
yang masuk dalam jenis Wdihan adalah nama-nama sebagai berikut:
Sementara yang
termasuk ken (kain) adalah adalah:
Kain-kain itu, menurut sumber Jawa Kuno, dikenakan oleh seseorang sesuai status sosialnya. Dalam Prasasti Rukam 829 saka (907 M) disebutkan kain jenis ganjar patra (lihat Wdihan nomor 5), diberikan oleh raja kepada Rakaryan Mapatih i hino, yaitu gelar untuk putra sulung raja. Sementara dalam Prasasti Tunahan 794 saka (872 M) Wdihan ganjar patra diberikan kepada Sri Maharaja.
Sumber:
Prasasti Sangsang saat ini
tersimpan di Tropen Museum, Belanda. Pada prasasti ini menyebutkan juga kain
Wdihan sebagai hadiah.
Pilih maging (lihat daftar nama
Wdihan nomor 14) dalam Prasasti Sangsang (829 saka atau 907 Masehi) juga
diberikan kepada Sri Maharaja. Sementara dalam Prasasti Lintakan (841 saka)
kain yang sama diberikan kepada Rakryan i hino.
Di dalam Prasasti Poh (827 saka) Wdihan kalyaga (Wdihan nomor 32) diberikan kepada rakryan mapatih i hino. halu, sirikan, wka, sang pamgat tiruan,”.
Prasasti Poh, di Poh Sarang Kediri
Sumber:
Penggambaran Busana abad ke 13
menurut Pujangga Empu Monaguna.
“Lalu para dayang belia datang
bagaikan dewi, mengenakan kemben kain wulang emas. Selendang emas murni yang
mereka sampirkan pada bahu tampak berkilauan seperti sayap untuk terbang. Para
dayang itu masih keturunan bangsawan sahabat raja. Mereka tengah menghadiri
sayembara memperebutkan Putri Indumati.” (mirip kontes miss-miss an di era kita)
Suasana sebagaimana diungkapkan
pada kalimat di atas, ditulis oleh Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad
ke-13 M lewat karyanya Kakawin Sumanasāntaka. Dari gambaran singkat itu
terbayang bagaimana pakaian orang-orang pada masa lalu. Selain dari karya
sastra, informasi itu juga muncul dalam relief candi dan prasasti. (Putri R.
h., 2018).
Dari temuan-temuan di atas, jelas belum ada kata “Batik”, bahkan belum ada
uraian yang menyebutkan kain seperti wujud batik sebagaimana yang kita kenal
saat ini.
Kelihatannya kita bangsa Indonesia harus lebih serius mempelajari asal-usul
batik.
Sumber Berita: buletintekstil.com