Pada tanggal 28 September 2021,
telah diadakan seminar mengenai ‘Batik Berkelanjutan Pada Gaya Hidup Era
Generasi Y dan Z’ dalam rangka membuka acara Jogja International Batik Biennale
2021 yang bertempat di Royal Ambarukmo Hotel. Pembukaan ini dihadiri oleh
Gubernur Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X, GKR Hemas, dan GKR Bendoro. Acara
dimulai tepat pada pukul 08.45 diawali laporan oleh GKR Hemas dan kemudian
dilanjuti pidato dari Sultan Hamengkubuwono X.
Pada pembukaan yang diawali oleh GKR
Hemas dan Sultan Hamengkubuwana X, para peserta ditempatkan terpisah untuk
kemudian diarahkan menuju ballroom di
mana diskusi seminar akan berlangsung. Sebelum memulai diskusi, Dr. Suwarno
Wisetrotomo selaku moderator memanggil ke-4 narasumber yang akan mengisi
seminar kali ini yaitu Afif Syakur dari Paguyuban Pecinta Batik Sekar Jagad
Yogyakarta, Dr. Lucky Wijayanti selaku Dosen Seni Rupa IKJ, Murni Ridha selaku brand manager Nona Rara Batik, dan
Hanang Mintarta seorang pemilik usaha batik Banyu Sabrang di Kulon Progo.
Kemudian GKR Bendoro ditunjuk untuk memberikan keynote speech mengenai perkembangan batik dalam lingkungan
Keraton.
Berawal dengan perjanjian Jatisari
pada 15 Februari 1755 yang menandai perubahan kebudayaan antara Keraton
Ngayogyokarta Hadiningrat dengan Keraton Surakarta Hadiningrat. Disebutkan juga
adanya pembagian budaya dan tata busana sehingga lahir batik gaya Yogyakarta.
Ciri khas batik Yogyakarta ini yaitu warna yang didominasi oleh warna coklat
tua, putih, biru tua, serta hitam. Memiliki 2 jenis motif, geometris dan non
geometris. Contoh geometris yaitu parang, ceplok, dan kawung. Sedangkan non
geometris seperti semen, gambar bumi dan gunung, dan flora dan fauna. Dalam
perjalanan sejarahnya, banyak symbol budaya Hindu yang juga terdapat pada batik
Yogyakarta ini seperti Gurda yang melambangkan matahari.
Sejak pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwono I telah ditetapkan motif larangan yang hanya bisa digunakan oleh
keluarga Keraton, yaitu motif Huk sebagai symbol pemimpin berbudi luhur. Motif
ini hanya digunakan sampai keturunan ke-7. Selanjutnya ada motif kawung, motif
ini merepresentasikan empat sumber tenaga alam yang bersumber pada satu titik.
Terakhir yaitu motif parang, motif yang dibuat oleh Panembahan Senopati ini
melambangkan gerakan ombak laut selatan sebagai pusat tenaga alam semesta.
Motif parang mempunyai ukuran tersendiri di mana masing-masing ukuran hanya
diperbolehkan untuk kalangan tertentu saja. Jika parang selebar 10-12 cm, hanya
seorang Raja lah yang bisa memakainya. Sedangkan ukuran 8 cm, diperuntukkan
istri dan anak Raja. Batik parang dengan ukuran 4 cm hanya untuk keluarga
Keraton.
Telah ditemukan sebuah manuscript yang kini berada di London
yang berisi salah satunya mengenai motif batik yang hilang, diperkirakan ada 50
motif batik yang hilang. Dari manuscript ini
tidak bisa ditelusuri lebih jauh lagi karena hanya terdapat motif apa yang
digunakan oleh siapa dalam acara apa.
Keraton Yogyakarta melakukan repackaging budaya supaya tetap
melestarikan budaya dengan pendekatan secara digital. Pembuatan website dan
social media dilakukan agar masyarakat Yogyakarta dapat dengan mudah mengakses
berita-berita, sejarah, edukasi, dan event
yang diberikan oleh Keraton Yogyakarta.
Kita masyarakat Yogyakarta sebagai
penerus dan pelestari budaya memang sudah seharusnya tidak meninggalkan
nilai-nilai yang diturunkan oleh leluhur kita. Salah satu budaya yang
ditinggalkan adalah batik. Namun sayangnya batik yang kaya akan filosofi,
makna, dan doa kini tidak terlalu diminati generasi muda. Oleh sebab itu,
seminar yang diadakan ini bertujuan untuk membedah bagaimana supaya generasi
penerus mau melestarikan dan mau dengan bangga memakai batik. Sebelum memasuki
pembahasan tersebut, materi keynote
speech yang disampaikan oleh GKR Bendoro memberi gambaran sejarah batik
pada masa lampau dan perkembangannya hingga kini dalam Keraton.