Chintz adalah jenis kain katun
yang dibuat dengan anyaman polos dan memiliki karakteristik ringan. Umumnya
bermotif floral dengan warna dasar cerah dan bold, digunakan dalam pembuatan
drapery, perlengkapan tidur, taplak meja serta kain pelapis furniture.
Permukaannya terlihat mengkilap
karena diberi lapisan khusus bernama glazur untuk meningkatkan ketahanan serta durabilitasnya.
Kain yang berasal dari India ini kerap mendominasi interior design mode barat dan sempat jadi ‘buronan’ para bangsawan
Eropa.
Yuk, simak ulasan sejarah,
karakteristik serta proses pembuatan kain chintz berikut ini!
Secara tradisional, chintz merupakan jenis kain blacu yang dicat, diwarnai atau diglasir menggunakan balok kayu. Kain ini pertama kali ditemukan di Golconda (Hyderabad, India) pada abad ke-16 dan kerap digunakan sebagau penutup tempat tidur, selimut dan gorden. Chintz identik dengan motif bunga dan geometris yang dikemas dalam beragam warna. Latarnya cenderung polos dan bernuansa terang.
Sumber: https://www.artrabbit.com/
Kata chintz sendiri berasal dari
bahasa Hindi, ‘chint’ yang artinya
“berbintik” atau ” beraneka ragam”. Istilah
ini seringkali digunakan untuk menyebut gaya hiasan bunga yang dikembangkan
pada tekstil belacu.
Kain chintz diperdagangkan
melintasi Samudera Hindia sejak abad ke dalam bentuk kain lukis (kalamkari)
atau kain cetak. Kain yang dulu sangat digemari ini awalnya ditenun dari bahan
katun yang sudah dicetak dan diglasi. Chintz pertama kali dibawa ke Eropa pada
abad ke-17 oleh pedagang Belanda dan Portugis lalu begitu cepatnya tersebar ke
seluruh benua.
Anggota bangsawan di Perancis dan
Inggris dibuat takjub ketika melihat warna cerah pada kain chintz untuk pertama
kalinya. Hingga memasuki paruh kedua abad ke-17, popularitas kain chintz telah jauh
menggapai puncaknya. Sehingga pemerintah Prancis dan Inggris terpaksa melarang penggunaan
kain tersebut guna menyelamatkan pabrik tekstil di negara mereka.
Menurut legenda urban, raja
Versailles dan para bangsawannya memilih untuk menentang larangan chintz.
Mereka secara gambling menggunakan chints sebagai penutup alat-alat rumah
tangga dan memodifikasinya jadi pakaian istana di Versailles.
Belanda, Inggris, dan Prancis
adalah produsen awal kain chintz imitasi pada akhir abad ke 17, sering kali
menggunakan kain katun polos yang diimpor oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Kain tersebut diekspor ke Amerika Utara dan Eropa serta koloni Portugis seperti
Brazil dan Filipina.
Perusahaan ini menjual kain
Guinea (kain katun sederhana bergaris) di dalam dan sekitar Indonesia saat ini
melalui jalur perdagangan yang sudah ada antara India bagian selatan dan Asia
Tenggara, sambil mengekspor kain chintz yang lebih mahal ke Belanda untuk
dijual di Eropa.
Ciri khas kain chintz terletak
corak bunga yang dicetak atau dicat berwarna cerah dan tahan lama. Hal ini
terutama disebabkan oleh pewarna alami seperti chay dan nila, serta teknik yang
dijaga ketat oleh para pencelup India. Desain bunga yang cerah dianggap sebagai
hasil patronase Mughal serta kesultanan yang lebih kecil di India selatan,
karena desain serupa pada miniatur dan arsitektur Mughal.
Sebagai alternatif, tekstil untuk
pasar Eropa ditandai dengan latar belakang terang yang menampilkan gambar bunga
yang rumit atau pola asimetris dan naratif yang lebih besar. Motif yang populer
di kalangan konsumen Inggris adalah Pohon Kehidupan, yang sering digambarkan
dengan bunga berwarna merah tua yang menjadi ciri khas chintz India.
Cetakan motif pada kain chintz, awalnya
dikerjakan di bengkel-bengkel di sepanjang pantai barat India. Sedangkan
tradisi melukis khusus dilakukan di kota-kota seperti Masulipatnam (sekarang
Machilipatnam) di pantai tenggara. Pencetakan adalah metode yang lebih cepat
dan memungkinkan produksi massal bahkan sebelum Inggris menguasai industri
tersebut.
Produksi kain chintz India
melibatkan pelapisan kain menggunakan resin guna membatasi mordan pada
area kain tertentu serta mencerahkan warnanya. Resin tersebut nantinya akan
dicuci sebelum dicetak atau diwarnai, teknik unik ini digunakan untuk
membedakannya dari kain chintz imitasi yang diproduksi oleh pabrikan Eropa
awal.
Eropa harus mengimpir tawas resin dengan
harga tinggi, sehingga chintz yang dibuat di Eropa memiliki warna yang lebih
kusam dan kurang jelas. Setelah dicuci, kain dicetak menggunakan balok-balok kayu
yang diukir polanya. Setelah itu, balok dilapisi menggunakan pewarna dan
ditekan pada kain kemudian berbeda digunakan untuk setiap warna dan garis luar.
Penggunaan kain chintz meluas
hingga menjadi kain pelapis pakaian. Hingga abad ke-19, dimana para pengusaha Eropa
memakai chintz yang diimpor dari India untuk membuat tirai, kain pelapis, dan
gaun. Beberapa ahli meyakini bahwa kain ini mulai dibuat menjadi pakaian ketika
para pembantu rumah tangga diberi tekstil rumah tangga yang sudah tua dan rusak
lalu dimodifikasi menjadi gaun.
Sadar bahwa tampilan gaun chintz terlihat
lebih modis, produsen mulai menjual kain yang lebih ringan dan mengkilap sebagai
bahan pakaian. Sedangkan kain yang kusam dan berat dijual untuk memenuhi keperluan
tekstil rumah tangga.
Memasuki abad 19, pencetakan dan
kain chintz mengkilap diproduksi di Eropa dengan bantuan pewarna sintetis,
mesin khusus, dan sistem produksi massal. Karena larangan impor kapas India,
jumlah kapas Inggris yang lebih murah mulai melebihi jumlah tekstil cetak blok
dari India. Ekspor kain India pun menjadi terbatas pada sejumlah kecil kain
chintz yang dicat di pantai Coromandel. Saat ini, sebagian besar kain chintz
diproduksi melalui pencetakan mekanis.