BULETIN TEKSTIL.COM/ JAKARTA – Batik tak pelak lagi
merupakan salah satu identitas terkuat bangsa Indonesia. Begitu kuatnya
identitas ini sehingga penggunaan kata ‘batik’, yang berasal dari Bahasa
Jawa ambhatik, “yang berarti menghubungkan titik-titik
menjadi gambar tertentu pada kain yang luas atau lebar”
(https://id.wikipedia.org/wiki/Batik) telah menjadi istilah yang secara umum
digunakan oleh dunia internasional.
Menurut berbagai sumber, teknik
pembuatan batik pada kain dengan menggunakan malam dan canting telah dikenal di
Indonesia sejak jaman kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Raden Wijaya di
akhir abad ke 13 dan mencapai kepopularannya di abad 18 dan 19. Pada saat itu
batik hanya dibuat menggunakan metode tulis. Batik cap baru dikenal di awal
abad 20 setelah Perang Dunia I, sekitar tahun 1920an.
Kepopuleran batik di Indonesia
mengalami pasang dan surut. Namun sejak ditetapkannya batik sebagai Warisan
Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and
Intangible Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada tanggal 2 Oktober 2009,
kepopuleran batik di Indonesia terus menanjak hingga kini, sehingga permintaan
untuk kain batik semakin meningkat. Penetapan peraturan penggunaan seragam
batik di hari-hari tertentu di banyak perusahaan juga mendorong semakin
banyaknya permintaan pasar untuk kain batik.
Proses produksi merupakan masalah
utama untuk pembuatan batik. Seperti kita ketahui, proses pembuatan kain batik
memakan cukup banyak waktu. Selembar kain batik tulis rata-rata membutuhkan
waktu 2 hingga 3 bulan sedangkan batik cap membutuhkan waktu setidaknya 2
hingga 3 hari. Proses pembuatan batik yang cukup lama, rumit dan membutuhkan
banyak keterampilan tangan manusia yang kemudian menyebabkan harga jual kain
batik menjadi cukup tinggi. Akibatnya di pasar banyak bermunculan kain-kain
buatan pabrik yang di print dengan motif batik yang dijual dengan harga murah.
Konsumen pun seringkali terkecoh atau kurang mengerti bahwa kain-kain tersebut
bukan merupakan kain batik asli, melainkan kain yang dicetak dengan motif yang
menyerupai motif batik.
Hal-hal yang telah disebutkan di
atas kemudian menjadi sumber keprihatinan para nara sumber pada webinar yang
bertajuk “Inovasi Teknologi di Industri Batik” yang diselenggarakan pada
tanggal 15 Maret yang lalu oleh Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang.
Webinar ini menampilkan dua tokoh pelaku sekaligus periset batik Indonesia,
yaitu Dr. H. Komarudin Kudiya, S.IP., M.Ds., Ketua Umum Asosiasi Perajin dan
Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) dan pemilik Batik Komar, serta Andi Sudiarso,
S.T., M.T., M.Sc., Ph.D., peneliti dan inventor Butimo (Mesin Batik) di
Departemen Teknik Mesin dan Industri Universitas Gajah Mada.
Agar sehelai kain dapat disebut
sebagai batik, menurut SNI0239, kain tersebut harus mengalami proses pewarnaan
secara perintangan menggunakan malam panas sebagai perintang warna dengan alat
utama pelekat lilin batik berupa canting tulis atau canting cap untuk membentuk
motif tertentu yang memiliki makna. Untuk itu, kedua nara sumber sepakat bahwa
untuk pembuatan batik yang sesuai dengan pakem haruslah mengikuti mengikuti
persyaratan di atas dan harus juga melibatkan keterampilan tangan pengrajin
batik.
Dr. Komarudin dalam presentasinya
membicarakan berbagai hasil inovasi teknologi berupa mesin-mesin yang dapat
membantu mempermudah dan mempersingkat proses produksi batik. Ia menyebutkan
antara lain:
1.
Kompor
listrik
2.
Canting
listrik
3.
Mesin
batik Butimo
4.
Bak
pewarna batik
5. Mesin pengecapan batik dan
6. Mesin Fotonik Batik.
Mesin Fotonik Batik
Sumber: buletintekstil.com
Cantik Listrik
Sumber: buletintekstil.com
Selain itu, ia pun menyebutkan ada
beberapa aplikasi berbasis Android untuk menganalisa batik juga alat penjernih
limbah pewarna batik.
Pada umumnya, di tempat-tempat
produksi batik, para pengrajin menggunakan kompor dengan bahan bakar minyak
untuk memanaskan malam dan menggunakan canting tangan tradisional untuk
menggambar batik. Akan tetapi kini sudah ada kompor listrik yang dapat mengatur
panas dengan lebih stabil serta canting listrik yang dapat mengatur aliran
malam panas dengan tekanan tetap.
Lebih lanjut lagi Dr. Komarudin
menjelaskan tentang mesin Fotonik Batik, yaitu mesin pengatur panas sinar yang
diperlukan pada saat pengaplikasian warna indigosol pada kain batik. Mesin
Fotonik Batik diciptakan oleh Dr. Ir. Eko Mursito Budi, M.T., seorang pakar
Teknik Fisika dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Mesin ini menghasilkan
penyinaran matahari buatan guna memunculkan warna setelah proses pencelupan
kain batik. Dengan mengatur jumlah sinar ultraviolet yang diperlukan, hasil
pewarnaan kain menjadi lebih stabil dan rata serta tidak perlu terganggu
keadaan cuaca seperti hujan atau mendung. Perusahaan Batik Komar milik Dr.
Komarudin pun telah menggunakan mesin Fotonik Batik untuk sebagian besar
produksi kain batiknya
Pemaparan dari Andi Sudiarso, Ph.D
pun tidak kalah menarik. Ia membicarakan mengenai Batik Tekno, atau Batik 4.0,
yaitu perpaduan antara batik digital dan batik tulis yang mendorongnya untuk
menciptakan mesin batik Butimo. Proses produksi batik yang paling banyak
memakan waktu dan tenaga antara lain adalah pada saat proses pembatikan dengan
malam, karena sepenuhnya menggunakan tenaga manusia.
Mesin batik Butimo mampu melakukan
berbagai proses pembatikan seperti nglowongi, nemboki, nyeceki, nitiki,
nglatari dan mbironi pada lembar kain dengan ukuran 1,15 m x 2,5 melalui
canting otomatis yang ada pada mesinnya. Di atas canting tersebut terdapat slot
untuk memasukkan malam yang kemudian akan dipanaskan sehingga berfungsi seperti
tinta. Dengan mesin tersebut, proses pembatikan manual yang biasanya memakan
waktu 6 jam bisa dipersingkat menjadi 3 jam saja, sehingga pembuatan batik yang
biasanya memakan waktu 2-3 hari bisa dipersingkat menjadi 1-2 hari.
Mesin Batik Butimo
Sumber: buletintekstil.com
Andi Sudiarso, Ph.D. menjelaskan, mesin batik Butimo tidak dimaksudkan untuk sepenuhnya menggantikan tenaga manusia, melainkan hanya untuk membantu mempersingkat proses tersebut. Campur tangan tenaga manusia masih tetap dibutuhkan, terutama pada saat nemboki. Ia mengatakan bahwa proses tersebut masih lebih cepat dikerjakan oleh manusia dibandingkan dengan mesin. Mesin Butimo membantu tahap membatik yang paling lama, yaitu pada saat nglowongi atau pembuatan motif utama. Dengan dipersingkatnya proses dan meningkatnya kapasitas produksi batik maka harga jual batik tersebut juga menjadi lebih murah sehingga dapat bersaing dengan kain-kain print motif batik buatan pabrik yang sebagian besar merupakan hasil impor.
Hasil dari mesin batik Butimo, sebelum dan sesudah pewarnaan
Sumber: buletintekstil.com
Pada penutupan webinar, kedua nara sumber sepakat mengatakan bahwa batik, sebagai warisan budaya Indonesia yang telah diakui dunia, harus tetap dipertahankan dan dilestarikan. Sejalan dengan perkembangan jaman, inovasi teknologi diperlukan agar proses pembuatan batik dapat dipermudah tanpa melanggar pakem-pakem yang sudah ditentukan, agar permintaan pasar untuk batik dapat lebih banyak dipenuhi serta dengan harga yang lebih terjangkau agar batik dapat dinikmati oleh lebih banyak kalangan.
Sumber Berita: buletintekstil.com