BULETIN TEKSTIL.COM /BANDUNG – Kemenperin melalui
Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Doddy Rahadi
mengemukakan bahwa pemanfaatan inovasi dan teknologi merupakan kunci penting
dalam meningkatkan daya saing pada industri tekstil dan produk tekstil (TPT).
Khususnya rekayasa serat menggunakan teknologi Melt Spinning.
Menurutnya, salah satu satuan
kerja Kemenperin di bidang standardisasi dan jasa industri, yakni Balai Besar
Tekstil (BBT) Bandung, telah berhasil mengembangkan fasilitas laboratorium melt
spinning tersebut.
Fasilitas itu bisa dimanfaatkan
oleh industri TPT nasional yang tengah melakukan pengembangan bahan baku benang
dengan fungsi khusus, termasuk untuk keperluan medis.
“Pengembangan material akan
berdampak pada peningkatan daya saing industri tekstil dan produk tekstil
nasional,” terang Dody dalam keterangan resminya yang diterima redaksi
Industry.co.id Minggu malam (14/2/2021).
Ia menambahkan, teknologi melt
spinning mampu mendesain benang dengan fungsi khusus yang langsung ditanamkan
pada seratnya.
Dengan adanya proses rekayasa
serat menggunakan teknologi melt spinning, dapat dihasilkan produk tekstil
fungsional yang memiliki tingkat durabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan
hasil penyempurnaan tekstil secara kimia.
“Kami menyiapkan melt spinning
untuk mendukung industri. Kami mempersilakan industri memanfaatkan teknologi
dan peralatan ini. Salah satu keunggulannya adalah bisa mencari bahan terbaik
seperti yang diinginkan,” ujarnya.
“Penerapan teknologi melt spinning
juga bertujuan untuk mendukung substitusi impor bahan baku tekstil dan produk
tekstil fungsional,” pungkasnya.
Menanggapi itu, Direktur Industri
Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Elis Masitoh memberikan apresiasi
terhadap percepatan pengadaan alat melt spinning untuk pengembangan teknologi
industri.
“Besar harapan kami kepada BBT
Bandung untuk menjadi jembatan inovasi bagi industri tekstil dan produk tekstil
dalam mengembangkan produknya,” Imbuhnya.
Sedangkan Kepala BBT Bandung
Wibowo Dwi Hartoto menyampaikan, balai besar tersebut juga siap berkontribusi
dalam melakukan kajian standardisasi produk-produk tekstil fungsional serta
melayani industri dalam pengujian mutu produk yang dihasilkan.
Untuk diketahui, terkait layanan
uji di segmen produk tekstil medis, BBT Bandung bekerja sama dengan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendirikan fasilitas laboratorium
pengujian masker medis.
Pengujian yang dapat dilakukan di
laboratorium tersebut antara lain ujibacteria filtration efficiency (BFE),
particle filtration efficiency (PFE), breathing resistance,syntheticblood
penetration test atausplash resistance,differential pressure, dan uji
flammability.
“Fasilitas ini disiapkan dalam
rangka menjawab tantangan untuk menciptakan produk tekstil yang berkualitas dan
memadai, seperti pada saat pandemi seperti ini,” sebutnya.
Ia menambahkan, laboratorium
pengujian masker di BBT Bandung mengacu pada parameter yang telah
direkomendasikan organisasi kesehatan dunia (WHO) dan telah diadopsi identik
oleh Badan Standardisasi Nasional menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI).
Yakni SNI EN 149:2001+A1:2009
(standar masker N95) dan SNI EN 14683:2019+AC:2019 (standar masker medis).
Kemudian, ada pula SNI 8488:2018 (standar masker medis) serta SNI 8914:2020
yang merupakan standar masker kain.
“Melalui fasilitas pengujian masker di BBT Bandung, pemerintah menyiapkan agar masker yang diproduksi di tanah air nantinya sesuai dengan SNI serta standar yang ditetapkan WHO,” pungkas Kepala BBT.
Sumber Berita: buletintekstil.com