BULETIN TEKSTIL.COM /
JAKARTA –
Sejak tahun 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan acara
tahunan Pekan Kebudayaan Nasional (PKN). Tahun ini merupakan tahun ketiga PKN
diselenggarakan dan merupakan tahun kedua penyelenggaraannya dilakukan secara
daring. PKN merupakan pelaksanaan perwujudan agenda strategi pemajuan
kebudayaan yang telah disepakati dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018,
dengan cara memberikan ruang bagi keberagaman ekspresi budaya, juga mendorong
interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif.
Pekan Kebudayaan Nasional diselenggarakan dengan menggelar serangkaian
aktifitas berjenjang dari desa hingga pusat, terdiri atas kompetisi daerah, kompetisi
nasional, konferensi pemajuan kebudayaan, pameran dan pagelaran karya budaya
dengan tujuan melestarikan kebudayaan Indonesia.
Pada tahun 2021 ini, Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
mengetengahkan Jalur Rempah sebagai salah satu program prioritas. Program
tersebut menitikberatkan pada rekonstruksi Jalur Rempah untuk mendukung
penetapannya sebagai Warisan Dunia (World Heritage). Pada tahun 2020 lalu
Kemendikbud telah menetapkan titik-titik lokasi Jalur Rempah tersebut yang pada
tahun ini direncanakan untuk dijelajahi untuk melihat potensi kerja sama dan
kolaborasi untuk mengangkat narasi Jalur Rempah tersebut. Diharapkan pada tahun
2024 nanti Jalur Rempah dapat didaftarkan kepada Komite Warisan Dunia UNESCO.
Jalur Rempah atau Spice Route, menurut situs Jalur Rempah Kemdikbud adalah mencakup berbagai lintasan dari timur Asia hingga barat Eropa terhubung dengan Benua Amerika, Afrika dan Australia. Kemdikbud melalui Program Jalur Rempah mencoba melihat kembali lintasan rute perdagangan rempah dari satu titik ke titik lainnya dan mencoba menelusuri dan menghidupkan kembali berbagai titik yang bisa dijumpai di Indonesia dan membentuk suatu lintasan peradaban yang berkelanjutan. Program ini berupaya keras untuk mencatat peran mereka yang berada di titik-titik perdagangan rempah, menghubungkan serangkaian benang merah yang belum terdokumentasikan dan masih samar-samar dalam narasi sejarahnya.
Poster webinar Telusur Jalur Rempah
Sumber: buletintekstil.com
Sebagai salah satu agenda acara di
PKN 2021, diselenggarakan webinar yang bertema: “Telusur Jalur Rempah: Melihat
Pengaruhnya pada Busana Nusantara” pada tanggal 3 Agustus 2021 yang lalu.
Dimoderasi oleh perancang busana Samuel Wattimena, seminar tersebut
diselenggarakan dengan mengundang beberapa narasumber ahli dari beberapa daerah
di Indonesia yang telah banyak dikenal oleh pemerhati dan pelaku industri
wastra Indonesia: Antonius Taula, Kornelis Ndapakamang dan Dr. Sativa Sutan
Aswar.
Narasumber pertama adalah Antonius
Taula, maestro dan pelestari kerajinan kain kulit kayu suku Lore dari daerah
Lore Selatan, Poso, Sulawesi Tengah. Kerajinan kain kulit kayu merupakan
warisan tradisional suku Lore sejak ribuan tahun lalu yang keahliannya telah
diperoleh secara turun temurun. Sejak beberapa tahun lalu ia telah mendirikan sanggar
di desa Lore untuk melatih dan menurunkan ilmu keahlian memproduksi kain kulit
kayu kepada generasi mudanya.
Peran Antonius Taula dalam
melestarikan dan memperkenalkan kain kulit kayu Lore cukup besar. Ia mencoba
mempelajari kembali motif-motif kain kulit kayu dari zaman dahulu dan mencoba
menghidupkannya kembali. Sampai saat ini tercatat ada 68 jenis motif kulit kayu
yang digunakan sesuai dengan urutan strata sosial masyarakat suku Lore. Berkat
usahanya, pada tahun 2014 Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan kain
kulit kayu sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional dan mengapresiasi Antonius
Taula sebagai penerima penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi
2018 dalam kategori Pelestari. Pakaian dari kulit kayu kini mulai popular kembali
di Poso dan banyak pengantin yang memilih menggunakan kain kulit kayu untuk
busana pengantinnya.
Untuk memproduksi kain dari kulit kayu tidaklah mudah. Menurut Antonius Taula, saat ini sudah ada delapan jenis kayu yang dapat digunakan untuk membuat kain, antara lain beringin, malo, ivo, dan sebagainya. Untuk membuat kain, pertama harus mengupas kulit ari dari batang kayu, kemudian srat dari batang kayu tersebut diambil dan direbus. Setelah direbus, kulit kayu tersebut dibungkus dengan daun khusus dan diperam selama 2 hari. Setelah diperam kemudian dipukul2 dengan batu sampai sangat tipis dan dikeringkan. Setelah kering kemudian diwarnai dengan dicelup dengan pewarna alam dan dilukis dengan motif-motif tradisional. Mereka menggunakan teknik pewarnaan dingin, jadi bahan pewarna tidak direbus, tetapi langsung diperas sarinya dan dilukis langsung ke kain tersebut. Busana kulit kayu tidak bisa dicuci. Untuk membersihkannya cukup dengan digantung diangin-anginkan dan dipukul. Pembahasan lebih lanjut mengenai proses pembuatan dan motif-motif kain kulit kayu akan dimuat dalam artikel lanjutan terpisah pada edisi Buletin Tekstil berikut.
Pakaian adat Poso terbuat dari kain kulit kayu yang dilukis tangan
Sumber: buletintekstil.com
Narasumber kedua adalah Kornelis
Ndapakamang, seorang maestro tenun dari Sumba Timur yang karya-karyanya kini
banyak digemari oleh pemerhati wastra Indonesia dan manca negara. Ia mulai
menggeluti tenun Sumba sejak tahun 1994. Keahlian teknik menenun ia peroleh
dari ibunya yang juga diperoleh secara turun temurun. Dahulu, hanya para wanita
Sumba yang menguasai teknik menenun dan pewarnaan kain tradisional mereka. Akan
tetapi, dengan majunya industri karena banyaknya permintaan untuk kain Sumba,
maka sekarang banyak pria Sumba yang menguasai keahlian tersebut.
Pada webinar kali ini, Kornelis
Ndapakamang membahas mengenai pengaruh kebudayaan asing pada motif-motif tenun
Sumba, terutama dari Tiongkok, India dan Belanda. Pada zaman dahulu, penduduk
pulau Sumba telah memperdagangkan beberapa hasil bumi mereka seperti kayu
cendana dan kuda dengan pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Selain itu, di
beberapa situs bersejarah di pulau Sumba ditemukan berbagai gerabah/tempayan
dan keramik Tiongkok, bukti bahwa di zaman dahulu ada interaksi dengan Tiongkok
sehingga benda-benda tersebut bisa sampai ke Sumba.
Pengaruh kebudayaan India yang paling
dominan pada motif kain tenun Sumba adalah motif patola. Walaupun kini banyak
mengalami perkembangan variasi, motif patola yang digunakan pada kain Sumba
sangat menyerupai motif patola dari India. Sedangkan pengaruh Tiongkok pada
motif kain Sumba berapa motif-motif seperti mahang (singa terbang), burung
merak dan naga. Motif-motif tersebut berasal dari motif-motif keramik kuno
Tiongkok yang kemudian diaplikasikan menjadi motif tenun mereka. Kemudian
pengaruh kebudayaan Belanda pada motif kain Sumba adalah motif Ratu Wilhelmina,
juga motif singa yang merupakan lambang kerajaan Belanda, yang banyak ditemui
pada uang koin Belanda kuno.
Kornelis Ndapakamang pun mengamati bahwa teknik menenun dan pewarnaan yang
digunakan oleh para pengrajin tenun Sumba sejak dahulu ternyata menyerupai
teknik yang digunakan oleh India, salah satunya adalah teknik pewarnaan dingin,
yaitu teknik pewarnaan kain yang tidak dipanaskan atau direbus.
Narasumber ketiga dan terakhir
adalah Dr. Sativa Sutan Aswar dari Tanah Datar, Sumatera Barat, atau yang kerap
dipanggil Atitje Arryman, seorang sosiolog dan pemerhati budaya Indonesia, juga
pakar wastra Indonesia yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya untuk
membina para pengrajin tenun terutama di Sumatera Barat, Jambi, Bali dan Nusa
Tenggara Barat.
Narasi-narasi yang dikemukakan oleh ketiga narasumber tersebut membuka dan menambah khazanah pengetahuan para pemerhati kebudayaan Indonesia, khususnya wastra Nusantara, terutama dalam kaitannya dengan Jalur Rempah dan pengaruhnya terhadap kebudayaan Indonesia. Diharapkan di waktu yang mendatang dapat diadakan kembali seminar/webinar serupa pada Pekan Kebudayaan Nasional atau event-event lainnya.
Sumber Berita: buletintekstil.com