Rencana pemerintah untuk memperketat impor sejumlah barang dikritisi
oleh kalangan pengusaha lokal. Belakangan ini, pengetatan aturan impor memang tengah
menjadi konsen pemerintah. Pasalnya produk impor hampir menguasai pasar dalam
negeri, pelaku UMKM pun kalah saing karena harganya sangat murah.
Atas dasar itulah, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 96/2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman. Perubahan PMK 199/2019 dilatarbelakangi oleh lonjakan pengiriman barang impor melalui pos atau ekspedisi.
Lantas, bagaimana tanggapan pelaku usaha terhadap kebijakan baru ini? Simak ulasannya yuk!
Skema kemitraan antara PPMSE/e-commerce dan DJBC yang awalnya bersifat
opsional kini menjadi wajib. Pada PMK 199/2019 PPMSE diperlakukan sebagai mitra
DJBC (pihak ketiga) sementara pada PMK 96/2023 PPMSE importir.
Aturan ini memberi kepastian siapa yang bertanggung jawab atas impor barang kiriman. Mengingat PPMSE adalah pihak yang mengetahui data transaksi, nilai, dan pengangkutan barang kiriman.
Kemudian, pada PMK 96/2023, pemerintah menambah empat komoditas baru yang
dikenakan tarif Most Favoured Nation (MFN). Tujuannya agar melindungi produk
dalam negeri sesuai aspirasi pelaku usaha melalui kementerian teknis.
Barang yang sudah diberi MFN meliputi sepeda dengan tarif 25%-40%, kosmetik
10%-15%, jam tangan 10%, serta besi dan baja 0%-20%. Sebelumnya alas kaki,
buku, tas, dan produk tekstil sudah dikenai tarif.
Selanjutnya, PMK 96/2023 mengatur pengawasan mengenai Consignment Note
(CN) yang selama ini belum diatur pada PMK 199/2019. CN merupakan dokumen
perjanjian antara pengirim barang dan jasa kirim untuk mengirimkan barang pada
penerima. Atau secara eksplisit dokumen CN sebagai pemberitahuan pabean dan
ditambahkan elemen data.
Dengan aturan baru ini, sistem pemberitahuan pabean dan penetapan
tarif/nilai pabean barang hasil perdagangan menjadi Self Assessment. Kebijakan tersebut juga mengatur ketentuan ekspor
barang kiriman untuk mendorong ekspor produk UMKM yang belum diatur sebelumnya
di PMK 199/2019.
Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo mengatakan, sebenarnya
peningkatan barang impor secara signifikan sudah terjadi sejak 2017 lalu. Dia
mencatat, pada 2017 terdapat 6,1 juta dokumen barang kiriman yang naik tiga
kali lipat menjadi 19,6 juta pada 2018.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto
menyebut rencana pengetatan terhadap sejumlah barang impor. Hal tersebut dilatarbelakangi
adanya keluhan dari asosiasi dan masyarakat terkait banjir produk impor di
pasar tradisional dan e-commerce.
Ada sejumlah komoditas yang hendak dikenakan pengetatan impor. Di antaranya adalah mainan anak-anak, elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil, obat tradisional dan suplemen kesehatan, pakaian jadi, aksesoris, dan tas.
Jumlah Harmonized System (HS) Code yang diubah mencapai 327 kode pos
untuk produk tertentu, pakaian jadi 328 kode pos, dan tas 23 kode pos. Selain
itu, ada perubahan aturan pengawasan barang-barang yang dilarang atau dibatasi
(lartas) menjadi border atau diawasi dalam kawasan pabean.
Selain itu, pemerintah juga akan melakukan pengawasan kepada importir
umum yang dari awalnya post border menjadi border. Akibat perubahan tersebut,
maka ada regulasi yang harus diperbaiki di sejumlah kementerian/lembaga.
Ketua Umum BPP Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI)
Subandi mengatakan bahwa pada prinsipnya GINSI tidak keberatan dengan
rencana pengetatan impor. Asalkan hal tersebut dikaji secara mendalam oleh
pemerintah, termasuk pertimbangan dampak positif dan negatifnya.
GINSI menilai bahwa proteksi produk dalam negeri yang berlebihan justru lebih banyak mudaratnya. Sebab, hal ini akan membuat produsen lokal cenderung enggan berinovasi dan kurang kreatif dalam mengembangkan bisnisnya.
Larangan impor tanpa pertimbangan yang matang bias
jadi malah membuat harga barang produksi dalam negeri jadi lebih mahal. Itu
sangat mungkin terjadi karena ketiadaan bahan baku atau bahan penolong sebuah industri.
Subandi menambahkan bahwa importasi bisa saja
terjadi karena adanya kebutuhan di dalam negeri yang tidak bisa dipenuhi oleh
produsen lokal. Baik dari segi kualitas, varian, dan harga. GINSI pun menilai
bahwa pemerintah harus mau mengkaji ulang kenapa beberapa produk dalam negeri
kurang diminati masyarakat lokal.
Jika kebutuhan sebuah produk tinggi, sedangkan suplai dari industri
lokal belum mumpuni, maka kebijakan larangan impor tidak efektif. Kebijakan
tersebut justru membuka celah bagi para penyelundup barang impor. Mereka pun tak
mungkin bisa berdiri sendiri tanpa
melibatkan aparatur terkait.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Indonesia
Bobby Gafur Umar menyatakan, langkah pemerintah sudah tepat selama yang
diperketat impornya adalah produk-produk jadi yang sudah bisa diproduksi di
dalam negeri.
Ia memahami bahwa rencana pengetatan impor ditujukan untuk melindungi
para UMKM. Apalagi, selama ini banyak produk impor yang membanjiri e-commerce
dengan harga murah, namun belum tentu kualitasnya lebih baik dibanding produk
lokal.
Penerapan SNI juga harus ditingkatkan untuk
memperkuat kualitas produk jadi dalam negeri dari serbuan produk impor.
Di sisi lain, Bobby turut berharap pengetatan impor tidak menyasar
produk-produk yang berstatus bahan baku atau bahan penolong bagi pelaku industri.
Banyak sektor berorientasi ekspor yang
bahan
Saat ini Menperin masih melakukan pengawasan Post-Border yang akan
diubah menjadi pengawasan di Border usai pemenuhan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan
Surveyor (LS). Dari total 11.415 HS, ada ketentuan tata niaga impor (larangan/pembatasan)
terhadap 6.910 HS (sekitar 60,5%) dan sisanya merupakan barang non-Lartas.
Dari 60,5% komoditas yang terkena Lartas tersebut, sebanyak 3.662 HS
(32,1%) dilakukan pengawasan di Border dan sebanyak 3.248 HS (28,4%) dilakukan
pengawasan Post-Border.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkap maraknya peredaran barang impor di pasar dan
platform digital (e-Commerce). Presiden pun memberi arahan agar pengetatan
impor berfokus pada komoditas tertentu seperti pakaian jadi, mainan anak,
elektronik, alas kaki, kosmetik, barang tekstil sudah jadi lainnya, obat
tradisional, dan suplemen kesehatan, serta produk tas.
Terbitnya kebijakan perlu diimbangi dengan prosedur pelayanan dan pengawasan yang lebih baik melalui pemanfaatan teknologi informasi. Langkah tersebut diperlukan untuk melindungi pelaku usaha, industri nasional serta seluruh masyarakat Indonesia.