BULETIN TEKSTIL.COM / JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) kini dibayangi tekanan kenaikan tarif kargo yang berdampak pada melemahnya daya saing dibanding negara lain.
Sumber: buletintekstil.com
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengungkapkan, kenaikan tarif kargo ini telah
terjadi sejak kuartal III 2020 lalu. Adapun, saat ini dinilai menjadi puncak
kenaikan tarif kargo pasalnya kenaikannya kini mencapai 5 hingga 6 kali lipat dari
tarif normal.
“Tarif kargo atau kontainer yang
masih terus naik sangat mempengaruhi daya saing produk Indonesia,” kata Jemmy
kepada Kontan.co.id, Minggu (29/8).
Jemmy menambahkan, kenaikan tarif
kargo diperparah dengan letak geografis Indonesia yang kurang menguntungkan
dibanding negara pesaing seperti China, India, dan Vietnam. Negara-negara
tersebut lebih dekat jaraknya ke sejumlah wilayah tujuan ekspor seperti Amerika
Serikat (AS), Uni Eropa, dan Amerika Latin.
Jemmy memberikan gambaran, pada
kondisi normal, tarif kargo dari Indonesia ke AS sebesar US$ 2.500 per
kontainer. Dengan kenaikan tarif maka kini ongkos yang harus dirogoh bahkan
bisa mencapai US$ 18.000 per kontainer. Sementara negara pesaing seperti India
pada kondisi normal mengeluarkan ongkos US$ 1.500 per kontainer, dengan
kenaikan tarif biaya yang dikeluarkan hanya sebesar US$ 7.500 per kontainer.
“Jadi (kenaikan tarif) membuat
perbedaannya melebar,” jelas Jemmy.
Di tengah kondisi tersebut,
pembeli umumnya ingin agar harga produk ke negara tujuan dari tiap negara
memiliki besaran yang sama. Alhasil, pembeli menawar produk Indonesia lebih
murah dibandingkan India. Belum lagi, produk dari India lebih cepat sampai ke
negara tujuan ekspor.
Dalam kondisi ini, pelaku usaha
mengharapkan sejumlah kebijakan demi menjaga kelangsungan industri TPT. Jemmy
mengungkapkan perlu ada perlindungan untuk praktik perdagangan yang tidak adil.
Apalagi menurut Jemmy, langkah ini sudah mulai dihembuskan pemerintah lewat
Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
“Juga kami harapkan PMK safeguard
pakaian jadi segera di terbitkan oleh Kemenkeu,” kata Jemmy. Kehadiran sejumlah
kebijakan ini juga dinilai bakal punya dampak positif bagi pelaku Industri
Kecil Menengah (IKM) dan industri terkait di atasnya.
Lindungi IKM Indonesia
Jemmy mengungkapkan, pelaku usaha
IKM dalam negeri kini dibayangi tekanan produk impor. Menurutnya, perlu ada
penguatan perlindungan pasar ketimbang pemberian modal mengingat masih
terjadinya praktik perdagangan yang tidak adil.
“Kalau modal diberikan tapi pasar
tidak ada, percuma saja. Modalnya malah habis dan menimbulkan kredit macet,”
terang Jemmy. Dia mencontohkan, belakangan produk impor hijab banyak masuk ke
Indonesia, padahal produk sejenis juga dihasilkan IKM dalam negeri.
Untuk itu, diperlukan perlindungan
pasar dalam negeri. Jika nantinya akses pasar dalam negeri menguat maka para
pelaku usaha bisa mulai menjajaki peluang pasar ekspor.
“Di dalam negeri mereka di latih dulu dalam segi kualitas, mode dan kecepatan supply serta mengikuti mode fast fashion yang hampir terjadi di seluruh dunia,” pungkas Jemmy.
Sumber Berita: buletintekstil.com