Bisakah kamu bayangkan dimana pada
abad 9 Masehi sudah ada “industri tekstil”, dikenakan pajak pula? Kali ini kita
akan melihat gambaran industri tekstil di wilayah Jawa 12 abad yang lalu.
Prasasti Ayam Teas I (tahun 822
Saka atau 900 Masehi) dari era Kerajaan Mataram Kuno menyebutkan perihal ketentuan
batasan usaha perdagangan dan kerajinan di desa-desa Sima yang termasuk wilayah
Ayam Teas. Sima adalah suatu daerah dimana masyarakatnya dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak.
Maksud dari “pembatasan” disini
adalah aturan terkait batas dari hasil industri tersebut, jika melebihi itu maka
akan dikenai pajak. Secara visibel, peraturan tersebut berbunyi:
“……hiꬼhiꬼnana ikanaꬼ
masambyawahӑra hanankona…..”(artinya …hendaknya dibatasi usaha
perdagangan di sana ….”).
Kalimat itu disertai angka batasan jumlah perdagangan kerbau, sapi, kambing, itik, alat transportasi yang digunakan selama berdagang, jumlah pedagang yang memakai pikulan, jumlah perajin aneka jenis logam hingga jumlah penenun benang.
Pajak di masa itu bersifat progresif,
artinya tarif pungutan meningkat seiring dengan kenaikan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian meski berada di wilayah Sima, pedagang akan
tetap dikenai pajak jika volume usahanya melebihi batas pengenaan pajak.
Sebagaimana yang tertulis pada
Sejarah Tekstil Di Pulau Jawa, era itu sudah ada pedagang pikulan yang menjual
lawe (benang pintal kapas), kain tenun dan sombo (pewarna tekstil dari mengkudu
dan kesumba). Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Kuno sudah melakukan
aktivitas menenun untuk memenuhi pakaian keluarganya. Namun, mereka harus
membeli berbagai keperluan di pedagang keliling karena tidak semua bahan baku tersedia
di sekitar mereka.
Dari sini kiranya bisa terbayangkan
apa yang dimaksud “industri” tekstil pada zaman itu. Bahkan kegiatan
perdagangan antar pulau dan antar negara sudah terjadi.
Dalam tulisan Siti Maziyah, “Kain
di Jawa, dari era Mataram kuno hingga Majapahit”, disebutkan pula prasasti-prasasti
dan berbagai istilah atau nama kain sebagai anugerah, wdihan lalu
diikuti nama patih yang menerima, kain rangga juga
diikuti nama penerimanya. Menurut Zoetmulder (2000: 920) kain rangga adalah
jenis kain khas yang memiliki motif tertentu.
Pada bagian lain prasasti juga
sudah tertulis istilah-istilah terkait proses pembuatan benang dan kain. Meski
penyebutannnya tidak sama, namun tetap bisa diidentifikasi. Contohnya yaitu:
·
Proses wusuwusu yaitu pembersihan
kapas dari kotoran
·
Menggintir benang
·
Merendam benang dalam minyak jarak
·
Mengikat benang untuk memperoleh efek motif
tertentu (pada tenun ikat)
·
Mewarnai benang dengan berbagai warna seperti
hitam, biru, atau merah
Dari situlah keberadaan industri
tenun ikat dan tenun lurik (structural desain) mulai terdeteksi. Tentu kebanyakan
masih menggunakan pola tenunan polos yang kemudian menjadi bahan dasar dalam pengerjaan
kain dengan motif yang dibuat secara surface desain seperti halnya batik, kain
prada dan lain sebagainya. Teknik menyulam mulai dikenal setelah masuknya
pedagang Cina yang membawa kain sutera dan kain sulaman.
Masyarakat Jawa Kuno masih
mengandalkan kain-kain yang diimpor dari wilayah Asia Selatan, Barat, Tenggara dan
Asia Timur, khususnya China. Fakta ini diketahui dari istilah-istilah asing yang
digunakan untuk menyebut kain pada zaman tersebut. Meski pada prasasti masih
disebutkan secara singkat, tapi memasuki abad ke 10 hingga 15 Masehi mulai
dilengkapi karya-karya susastra. Banyak pula prasasti yang menyebutkan jenis kain
dan motif, seperti halnya Kakawin Sumanasantaka pupuh 52:4:
“Kain gilang gemilang yang
bergelantungan pada walikuwung menyerupai Pelangi”, gambaran kain dengan aneka
warna.
“Kain kasa putih berkilau yang
digunakan untuk menghias atap seperti kabut hujan yang hanyut ke satu sisi”, dan masih banyak lagi.
Sebagian informasi juga diperoleh dari karya tulis
pengelana asing yang satu era. Diantaranya yaitu Berita China dan Pengelana
Portugis. Namun yang paling mendominasi adalah berita Cina yang notabene sudah memiliki
hubungan lebih lama dengan Nusantara, khususnya Jawa. Bahkan konon kabarnya, hubungan
tersebut sudah terjalin sejak Dinasti Tang (sekitar abad ke 7 masehi).
Sumber: Buletin Teksil Edisi 31