Batik sebagai salah satu
komoditas perdagangan yang juga memainkan peran dalam hal perlestarian budaya
nasional mengalami banyak pasang surut. Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik
Indonesia (APPBI) memberikan beberapa evaluasi terkait perkembangan sektor
usaha batik dalam forum diskusi FGD (Focus
Group Discussion) dengan tema “Batik Berkelanjutan: Rantai Pasok Industri
Kecil dan Menengah.” (Selasa, 22 Mei 2024)
Asosiasi yang lahir atas inisiatif dan kesepahaman beberapa perajin batik ini beranggotakan YBJB (Jawa Barat), PBKL (Pekalongan), Sekarjagad, Bokor Kencono (Semarang), P3BL (Lampung), P3SB (Sumatra Barat), P3BKS (Kabupaten Serang), dan masih banyak lagi. Komarudin Kudiya hadir sebagai perwakilan APPBI dalam forum diskusi yang dilaksanakan di Pusat Desain Industri Nasional Yogyakarta.
Pada kesempatan tersebut, Komarudin Kudiya selaku Ketua Umum APPBI menyampaikan laporan dan beberapa kendala dalam industri pembuatan batik. Data APPBI menunjukkan bahwa jumlah pengrajin batik penurunan dalam kurun waktu 4 tahun, terhitung sejak 2019 hingga 2023. Laporan APPBI tahun 2019 mencatat total 131.565 pengrajin batik di seluruh Indonesia, dimana 82.550 nya ada di Provinsi Jawa Tengah.
Hal itu turut menjadikan Jawa
Tengah sebagai sentra pengrajin batik terbesar di Nusantara. Namun, angka
tersebut mengalami pengurangan seiring banyaknya tantangan dan problema di
sepanjang tahun 2020 hingga 2022. Sehingga data APPBI tahun 2023 Jawa Tengah hanya
mencatat sekitar 72.500 orang pengrajin batik dengan 300 pengusaha besar, 565
menengah dan 850 pengusaha kecil.
Meski tak menggeser posisinya
tetap di urutan pertama, tetapi data tersebut menunjukkan penurunan sejumlah
12,11% dibandingkan data tahun 2019 lalu.
Fakta tersebut juga menyeret data
grafik produksi batik tulis, batik cap maupun kombinasi di seluruh Indonesia. Nilai
penjualan batik pun turut mengalami penurunan terutama jenis batik tulis yang
menyentuh angka 17,27%, dari Rp. 62.262.240.000,00 menjadi hanya Rp. 49.507.350.000,00.
Sesuai dengan tema diskusi, APPBI
menyorot permasalahan tentang rantai pasok bahan baku kain yang digunakan untuk
membatik atau supply and chain.
Meliputi ketidakstabilan harga bahan baku, kurangnya standarisasi kualitas pewarna batik,
ketergantungan terhadap pasokan material import serta perwakilan atau stok
bahan baku di wilayah luar Pulau Jawa.
Bahan-bahan yang dimaksud yaitu kain
dan berbagai jenis malam atau lilin batik. Para pengrajin batik tulis, batik cap
maupun batik kombinasi umumnya menggunakan kain-kain berbahan dasar serat alam
seperti mori katun prima, kain primis, dobby, viscose, sutra ATBM dan sutra ATM.
Sedangkan jenis malam batik yang dipakai meliputi gondorukem, parafin,
microwax, getah damar, malam tawon, Kendal hingga malam sisa.
Terkait kendala tersebut, APPBI
mengajukan beberapa usulan mengenai strategi pemenuhan rantai pasok.
Diantaranya yaitu:
1.
Keseriusan Pemerintah dalam pengendalian serta pemenuhan
bahan baku serat alami (Swasembada serat alami).
2.
Pengawasan Intensif terhadap Standarisasi
kualitas pewarna batik di Pasaran
3.
Jaminan akan stabilitas harga bahan baku terutama
bahan-bahan dasar produksi batik (kain,lLilin dan zat warna).
4.
Stok atau ketersediaan zat warna produksi dalam
negeri dengan kualitas berimbang dan stabil