Di dunia yang makin didorong oleh visual dan narasi, tidak mengherankan jika industri fashion mulai menjajaki jalur sinema sebagai alat baru untuk memikat konsumen. Kolaborasi antara fashion dan film bukanlah hal baru, namun dalam beberapa tahun terakhir, pendekatan ini berkembang menjadi strategi branding yang terencana dan efektif.
Fashion tak lagi hanya soal pakaian—ia adalah cerita, gaya
hidup, dan identitas. Dan film, sebagai medium penceritaan paling kuat abad
ini, menawarkan panggung megah untuk menampilkan semua itu dalam bentuk yang
hidup, emosional, dan menginspirasi.
Dari Latar
ke Karakter: Evolusi Peran Fashion di Layar
Fashion dan film sudah lama saling memengaruhi. Sejak era Breakfast at Tiffany’s, ketika Audrey
Hepburn mengenakan gaun hitam ikonik rancangan Givenchy, hingga Clueless yang mempopulerkan fashion
tahun 90-an, fashion selalu memiliki tempat di layar.
Namun, yang berbeda sekarang adalah kesengajaan. Brand
fashion kini aktif memasukkan identitas visual mereka ke dalam narasi film—baik
lewat kostum karakter utama, setting, maupun tone keseluruhan. Ini bukan lagi
soal ‘terlihat stylish’, tapi soal memperkenalkan brand image melalui
storytelling.
Contohnya adalah film A
Single Man karya Tom Ford. Tak hanya disutradarai oleh seorang desainer
ternama, film ini juga memperlihatkan estetika visual yang sangat selaras
dengan gaya Ford: elegan, minimalis, dan emosional.
Fashion
House Jadi Rumah Produksi
Beberapa brand bahkan melangkah lebih jauh dengan memproduksi
film mereka sendiri. Chanel, Prada, Gucci, dan Saint Laurent termasuk di
antaranya. Mereka merilis film pendek berkonsep artistik, bekerja sama dengan
sutradara film terkenal seperti Wes Anderson, Ridley Scott, atau Gus Van Sant.
Tujuannya bukan hanya sebagai iklan tersembunyi, tapi untuk
membangun pengalaman dan citra merek yang kuat. Film-film ini biasanya diputar
di festival, ditayangkan di media sosial, atau diluncurkan bersamaan dengan
koleksi baru—menciptakan hype dan storytelling yang menyatu.
Misalnya, Gucci dengan film pendek “Ouverture of Something
That Never Ended” berhasil menciptakan nuansa eksperimental yang menggambarkan
keberanian dan keanehan khas rumah mode tersebut. Hasilnya? Bukan hanya menarik
perhatian penggemar fashion, tapi juga komunitas seni dan perfilman.
Mengapa
Film Efektif untuk Brand Fashion?
Film punya kekuatan unik: ia bukan hanya dilihat, tapi
dirasakan. Penonton tidak hanya melihat pakaian dipakai—mereka melihat pakaian
itu hidup bersama karakter, menjadi bagian dari cerita. Ini menciptakan emotional attachment yang jauh lebih
kuat daripada melihat foto di katalog atau iklan di billboard.
Dalam psikologi konsumen, ini disebut sebagai associative marketing: ketika seseorang
menyukai karakter atau suasana tertentu, mereka cenderung mengasosiasikan emosi
positif itu dengan brand yang terlibat.
Bayangkan seorang penonton yang terinspirasi gaya bebas dan
energik karakter dalam film. Tanpa sadar, ia juga mulai tertarik pada brand
fashion yang dikenakan karakter tersebut. Bahkan jika logo tidak pernah
ditampilkan, gaya visual dan asosiasinya sudah menempel di benak konsumen.
Dari Layar
ke Tren: Efek Dunia Nyata
Dampak film terhadap brand fashion sangat nyata. Sering kali,
setelah perilisan film atau serial populer, permintaan terhadap pakaian atau
aksesori tertentu melonjak drastis. Contoh nyata bisa dilihat dari pengaruh
serial Emily in Paris yang
mendongkrak popularitas brand-brand Eropa seperti Chanel, Balmain, dan Roger
Vivier.
Hal serupa terjadi pada Euphoria,
di mana kostum karakter menjadi sumber inspirasi fashion anak muda dan
menciptakan tren baru di TikTok. Fashion dalam film bukan hanya gaya—ia menjadi
pernyataan budaya.
Media sosial memperkuat efek ini. Cuplikan film, potongan
gaya busana, dan diskusi karakter dengan cepat menyebar, menciptakan momentum
viral yang langsung menguntungkan brand. Tanpa perlu kampanye besar-besaran,
fashion bisa menyusup ke dalam kesadaran publik lewat kekuatan cerita.
Risiko dan
Tantangan
Meski menjanjikan, pendekatan ini tidak tanpa risiko.
Kolaborasi film dan fashion membutuhkan konsistensi visual dan narasi yang
kuat. Jika keberadaan fashion brand dalam film dianggap ‘terlalu menjual’,
penonton bisa kehilangan minat. Sebaliknya, jika fashion terlalu tersamar,
nilai brand-nya tidak sampai ke target audiens.
Tantangan lainnya adalah memastikan bahwa nilai dan visi
brand benar-benar cocok dengan cerita yang disampaikan. Kesesuaian ini penting
agar kolaborasi terasa otentik, bukan sekadar tempelan promosi.
Kesimpulan:
Masa Depan Fashion Ada di Layar
Industri fashion terus bertransformasi, dan film adalah salah
satu alat paling kuat dalam kotak peralatan kreatif mereka. Dengan kemampuan
menyentuh emosi, membangun cerita, dan menciptakan pengalaman mendalam, film
menjadi jembatan yang memperkuat koneksi antara brand dan audiensnya.
Bagi brand fashion yang ingin lebih dari sekadar dilihat—yang
ingin dirasakan, diingat, dan dihayati—film bukan lagi sekadar pelengkap. Ia
adalah medium masa depan.
Dan siapa tahu, mungkin di tahun-tahun mendatang, kita akan
melihat lebih banyak label fashion yang tidak hanya tampil di layar, tapi juga
menghidupkan layar.