Sapu tangan atau selampai adalah
selembar kain berbentuk segi empat yang digunakan untuk berbagai keperluan pribadi.
Seperti halnya mengelap tangan, menyeka area mulut, dan lain sebagainya. Bahkan
sebelum adanya tisu, saputangan jadi salah satu benda penting yang harus dibawa
kemanapun.
Kain persegi ini bisa digunakan hingga
berkali-kali, kalau sudah kotor pun bisa dicuci lalu dipakai lagi. Dahulu saputangan
dipakai orang dewasa maupun anak-anak, khususnya mereka yang menderita sinusitis,
rhinitis serta penyakit pernapasan lain untuk menyeka ingus. Sebagaimana kita
tahu, keberadaan ingus sangatlah menyiksa.
Tak jarang kita jadi susah bernafas
karena lendir yang menyumbat hidung atau bahkan keluar dengan sendirinya. Ukuran
sapu tangan yang tidak terlalu besar akan mudah dibawa kemana-mana, dimasukkan
ke saku atau kantong kecil pada tas.
Meskipun peran sapu tangan sudah
tergantikan oleh tisu, tetapi beberapa orang masih mengandalkan sapu tangan
sebagai pelengkap setelan jas dalam gaya formal.
Sebenarnya saputangan sudah disebut
dalam syair karya Catulus atau sekitar 85-87 SM. Tetapi alat pengusap keringat kala
itu masih berupa jalinan rumput. Memasuki abad pertama sebelum masehi, barulah
saputangan mulai dibuat dari kain linen.
Walaupun desainnya masih sangat sederhana, namun hanya masyarakat kelas atas yang sanggup memilikinya. Itulah kenapa saputangan diperlakukan sangat istimewa dan eksklusif sehingga pemakaiannya terbatas pada momen-momen tertentu saja.
Menjelang abad ke-14, penduduk Eropa
mulai menyadari peran saputangan dan menjadikannya sebagai bagian tak
terpisahkan dalam gaya berbusana. Italia adalah tempat pertama kali munculnya
ide sapu tangan modern dari seorang wanita Venesia. Ketika itu, ia memotong lembaran
kain rami bentuk bujur sangkar lalu menghiasinya dengan renda.
Selampai atau handkerchiefs pun
mulai beralih fungsi jadi sarana bertutur sapa antar masyarakat kelas atas
dengan cara dilambai-lambaikan. Sedangkan di gedung teater ia
dilambai-lambaikan untuk memberi sambutan hangat kepada para pemain.
Berawal dari Italia saputangan
menyebar ke seantero Prancis berkat peran besar kaum bangsawan di bawah naungan
Raja Henry II. Sayangnya, bahan dasar sapu tangan kala itu masih tergolong mahal
karena penambahkan aksen-aksen hiasan bordir yang cantik nan mewah.
Fungsi sapu tangan mulai beralih
setelah orang-orang Eropa mengenal cerutu, tepatnya pada abad ke-17. Sejak itu,
menghisap cerutu menjadi kebiasaan yang sangat elegan. Namun di satu sisi, kebiasaan
tersebut mengganggu penampilan karena asap cerutu meninggalkan noda kecoklatan
di hidung. Di sinilah awal mula kemunculan saputangan ukuran besar berwarna
gelap setelah sekian lama ia hadir dalam potongan mungil, berenda dan berbordir
nan kenes.
Pada abad ke-18 di Versailles
Maria Antoinette menyatakan bahwa saputangan bujur sangkar lebih tepat dan mudah
dibawa ke mana-mana. Bahkan Raja Louis XVI sampai membuat aturan perihal ukuran
bujur sangkar untuk semua saputangan yang dibuat di kawasan istana.
Barulah di abad ke-19 saputangan beredar
di kalangan bangsawan dan keturunan raja-raja Jerman. Ia juga menjadi hadiah
umum dari pria yang menaruh hati pada wanita maupun sebaliknya. Sebagai pelengkap
wajib gaya busana hingga sarana komunikasi yang menarik.
Contohnya, meletakkan saputangan
di pipi adalah ungkapan ''aku cinta padamu''. Membawa saputangan ke pipi kanan,
pertanda mengiyakan sesuatu, kalau ke kiri menolak. Meletakkan di dahi
berarti,'' kita sedang diamat-amati'', dan jika di bahu artinya,''ikuti aku''. Jika
seorang wanita meletakkannya di bibir sembari menatap lawan jenis, tandanya ia ingin
berkenalan.
Sangat disayangkan bahwa
keberadaan saputangan sudah terhempas oleh tisu kertas yang lebih praktis dan higienis.
Padahal ia lebih ramah lingkungan dan menghemat biaya.