Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tengah menghadapi tekanan serius. Usulan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk benang impor—khususnya jenis POY (Partially Oriented Yarn) dan DTY (Drawn Textured Yarn)—menjadi perdebatan besar. Di satu sisi, kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi produsen dalam negeri dari praktik dumping. Namun di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa langkah ini justru dapat memicu gangguan serius pada rantai pasok industri tekstil nasional.
Ketergantungan Impor yang Tak
Terelakkan
Indonesia setiap tahunnya membutuhkan
sekitar 257.600 ton benang POY, sementara kapasitas produksi lokal hanya mampu
memasok 141.900 ton. Artinya, ada defisit lebih dari 115.000 ton yang selama
ini dipenuhi melalui impor. Dalam kondisi seperti ini, menaikkan bea masuk
berpotensi meningkatkan harga bahan baku secara drastis.
Sejumlah pelaku industri, khususnya
produsen skala menengah di Bandung dan Solo, menyuarakan keprihatinan. Margin
keuntungan mereka yang tipis (Rp 500–1.000 per unit) tidak akan mampu
menanggung beban tambahan dari tarif baru. Jika BMAD diberlakukan tanpa
kesiapan struktural, penutupan pabrik bisa menjadi efek domino berikutnya.
Dampak Langsung ke Industri
Polemik Antar Pemangku Kepentingan
Sikap para pemangku kebijakan pun
terbelah:
· Kamar Dagang dan Industri (Kadin) serta Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta pemerintah mengevaluasi ulang usulan
BMAD. Mereka menekankan bahwa perlindungan industri hulu tidak boleh
mengorbankan ribuan pelaku industri hilir.
· Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen
(APSyFI) justru mendukung langkah ini sebagai strategi menekan praktik
perdagangan tidak adil dari luar negeri.
· HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia)
mengusulkan solusi jangka panjang melalui peningkatan kapasitas produksi lokal
dan peningkatan daya saing.
Jalan Tengah yang Dibutuhkan
Tantangan besar ini menuntut
keseimbangan antara dua tujuan:
· Melindungi industri hulu agar tak tergilas
oleh praktik unfair trade.
· Memastikan kesinambungan pasokan bagi industri
hilir, terutama UMKM, agar rantai produksi tetap berjalan tanpa hambatan.
Kompas mencatat bahwa puluhan ribu perusahaan dan lebih dari satu juta UMKM TPT
ada dalam risiko.
Kadin mengusulkan agar tarif BMAD
untuk POY dan DTY ditempatkan pada nilai nol persen sementara, untuk memberi
waktu pada sektor hulu memperkuat kapasitas produksi lokal.
Rekomendasi Kebijakan
Dalam kondisi yang kompleks seperti
ini, pemerintah perlu bergerak hati-hati. Kebijakan yang baik bukan hanya
melindungi satu sisi, tetapi menciptakan keseimbangan dalam ekosistem industri.
· Evaluasi terukur: Pemerintah—via Kemendag,
KADI, dan KPPU—perlu bersama-sama menelaah dampak langsung dan tidak langsung
BMAD sebelum kebijakan dieksekusi.
· Insentif kapasitas lokal: Dorong investasi
pada sektor hilir—seperti penggunaan teknologi, insentif industri, dan
penguatan R&D menengah-hilir.
· Fase transisi tarif: Pertahankan BMAD secara
selektif, dengan opsi relaksasi tarif untuk memastikan ekosistem tetap berjalan
lancar.
Apa yang bisa dilakukan?
· Evaluasi Terbuka: Libatkan pelaku industri
hulu dan hilir secara langsung dalam uji publik kebijakan BMAD.
· Transisi Bertahap: Terapkan tarif bertingkat
dengan mekanisme monitoring dampak ekonomi secara berkala.
· Stimulus Produksi Domestik: Beri insentif bagi
industri benang dalam negeri agar bisa meningkatkan kapasitas dan efisiensi
produksi.
· Akses Impor Terbatas: Izinkan impor dengan
kuota terbatas khusus untuk kebutuhan pelaku industri hilir skala kecil dan
menengah.
Kebijakan BMAD terhadap benang impor
memang bertujuan mulia: melindungi hulu dari praktik dumping. Namun tanpa
strategi sinergis, ia dapat memicu tekanan biaya, penutupan pabrik, dan PHK
massal di sektor hilir. Rekomendasi paling rasional adalah menerapkan kebijakan
bertahap, memastikan keseimbangan antara proteksi industri hulu dan
keberlangsungan rantai pasok nasional.
Ketika industri tekstil berada di
persimpangan jalan, keputusan yang diambil hari ini akan menentukan
kelangsungan jutaan pekerja dan pelaku usaha. Perlindungan terhadap industri
nasional memang penting, tetapi jika tidak dilakukan dengan cermat, bisa
berbalik menjadi ancaman sistemik.
Keseimbangan antara perlindungan dan
produktivitas adalah kunci. Pemerintah ditantang untuk tidak sekadar merespons
tekanan pasar, tetapi merancang solusi yang membangun fondasi industri tekstil
yang tangguh dan inklusif.