Italia, sebuah negara yang terkenal akan seni, budaya dan kuliner terutama pizza saat ini makin mengembangkan sayap dalam kontribusi terhadap dunia kesehatan, antariksa dan fashion. Seorang Duta Besar Italia untuk Indonesia, Vittorio Sandalli berupaya membuktikan akan upaya Italia dengan diadakannya ekshibisi The Beauty of Knowledge yang sekaligus memperingati 70 tahun kerjasama bilateral Indonesia dan Italia. Pameran ini berlangsung di Museum Nasional Indonesia. Ruangan pameran dipenuhi dengan susunan balok plastik putih dan kotak akrilik yang sebagian memuat benda-benda seperti jeruk, benang dan kulit, barang yang menjadi obyek penelitian sejumlah periset dan praktisi fashion Italia beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2013, seorang mahasisiwi di Milan dengan jurusan Fashion bernama Adriana Santanocito dan Enrica Arena, gusar mengetahui bahwa sebuah perusahaan produsen jus jeruk tidak bisa mengelola limbah sampah dengan baik, atas 700.000 ton sampah pada setiap tahunnya. Dengan kegigihanya, mereka berdua berhasil mendapatkan solusi untuk memecahkan masalah sampah jeruk dengan mengelola sisa produksi jus jeruk menjadi kain serupa sutera sebagai bahan busana. Dan pada tahun 2014, dua desainer tersebut akhirnya meresmikan Orange Fiber sebagai perusahaan yang fokus mengeksplorasi manfaat limbah jeruk untuk ranah mode dan mematenkan hasil temuannya. Bahkan pada tahun 2017 label busana asal Italia Salvatore Ferragamo berkolaborasi dengan Orange Fiber untuk limited edition yang dibuat guna memperingati hari bumi. Produk yang dilansir seperti kemeja, terusan, kaos dan celana panjang dengan bahan kain yang menggunakan bahan dasar jeruk.
Pemanfaatan limbah makanan untuk pembuatan kain sebenarnya sudah diketahui dan menjadi hal yang lazim sejak tahun 1930 – 1960an. Namun dikarenakan industri fast fahion memanfaatkan bahan kimia dan mesin, hal yang menggunakan sistem formulasi material alam menjadi terlupakan. Namun saat ini, dampak buruk industri mode cepat semakin tak terkendali, dan gagasan untuk kembali ke alam semakin di pertegas kembali.
Pemanfaatan limbah makanan yang lainnya muncul di tahun 2010, seorang desainer Suzanne Lee berkerjasama dengan pakar biologi untuk menciptakan rompi kulit dari sisa olahan minuman teh.
Ide Suzanne Lee dalam menciptakan bahan kain dari teh saat ini semakin disempurnakan oleh seorang professor associate di bidang desain dan pakaian dari Iowa State University, Young-A Lee dengan menciptakan formula supaya kain yang dihasilkan lebih tahan akan air dan kuat digunakan sehari-hari. Bahkan Lee juga mengembangkan teknik pewarnaan kain dari sisa kopi dan kulit bawang.
Pemanfaatan limbah makanan tidak hanya itu, Theanne Schiros, professor Matematika dan Sains di Fashion Institute of Technology (FIT), memilih menggunakan algae yang dirasa lebih awet digunakan setiap hari. Tumbuhan ini bisa diolah menjadi tekstil. Dan pengembang lainnya mengarah pada penggunaan rumput laut. Bahkan beberapa murid Schiros mencipatkan kain alami dari kulit nanas, biji alpukat, dan indigo.
Pemanfaatan limbah makanan untuk dijadikan produk yang berguna lebih baik lagi salah satunya tekstil tidak hanya menguntungkan bagi kelestarian alam dan para pelaku industri makanan, tapi juga membantu pemerintah untuk menanggulangi cara menanggulangi sampah yang lebih bermanfaat. Bahkan inovasi pembuatan kain menggunakan tumbuhan tertentu dirasa membantu para petani untuk mendapat penghasilan tambahan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa alternative yang tercipta seperti teh, air, dan gula menjadi pengganti kulit binatang, lalu keju menjadi material bioplastik, anggur, ampas kulit, biji dan tangkai menjadi pengganti penggunaan kulit dan serat jeruk menjadi alternative benang sutra.
Busana yang terbuat dari buah dan tumbuhan sisa industri makanan dianggap menjadi salah satu cara yang efektif untuk menanggulangi dampak buruk fast fashion. Sebagai generasi muda yang penuh kreatif dan inovasi, yuk ikut mencari ide apa lagi yang bisa dihasilkan dari limbah makanan atau sampah yang lainnya.