Tanggal 3 Maret 2023 merupakan tahun
keempat peringatan Hari Sarung Nasional. Mungkin hanya segelintir orang saja yang
mengetahui bahwa tepat pada tahun 2019 pemerintah resmi mencanangkan sarung
sebagai busana nasional rakyat Indonesia. Nasib sarung memang belum sebaik
batik, tapi keduanya tetaplah kekayaan budaya Nusantara sejak dahulu kala.
Dahulu kebanyakan sarung dibuat
dari kain batik sehingga diberilah sebutan sebagai sarung batik. Kehadiran
sarung ini membawa warna baru dalam industri sarung Indonesia sehingga corak kain
sarung bukan hanya motif palekat (efek penggunaan benang tenun warna-warni).
Mungkin itulah alasannya kenapa
sarung palekat bukan pilihan teratas bagi pesarung generasi millenial. Namun di
sisi lain, kaum kolonial justru merasa kurang pas kalau sarungnya terlalu out
of the box. Mereka pun menjadi konsumen sarung motif palekat yang paling
dominan. Tak jarang motif pada sarung tenun tradisional dipilih sebagai busana
formal karena kesannya dirasa terlalu “mewah’ dan “ramai”.
Sarung batik berasal dari wilayah
pesisiran dan merupakan pengembangan batik pesisiran dengan ragam pola
khas. Biasanya kepala bagian kanan berfungsi sebagai Tumpal sebab bentuknya paling
lebar dan mencolok.
Budaya memakai sarung tak dikhususkan
bagi pria. Sebab ketika lembaran kain batik dipakai wanita seperti gambar di
atas maka itu juga bisa disebut sarung. Akan tetapi kedua ujung kain sarung
wanita umumnya tidak dijahit, posisi bagian kepala dan papan berada didepan.
Itu menjadi salah satu pembeda
antara kain batik klasik dan batik pesisiran. Pemakaian batik tradisional perlu
di wiru, sementara batik pesisiran bisa langsung dililitkan tidak perlu diwiru.
Pada pengembangkan batik pesisiran menjadi sarung batik untuk pria, pola kepala diletakkan di bagian belakang. Kedua ujung kainnya juga harus dijahit membentuk sebuah tabung. Berikut ini ketsa bagan motif sarung batik bagi kaum lelaki:
Beberapa sketsa tersebut diambil
dari buku “Sarung Tenun Indonesia, Warisan Budaya Bangsa”
Kemunculan Sarung Batik erat
kaitannya dengan penyebaran agama Islam di wilayah Tegalsari, Ponorogo, Jawa
Timur. Disana berdiri sebuah pesantren dalam asuhan Kyai Kasan Besari (Hasan
Basri) atau dikenal sebagai Kyai Agung Tegalsari. Selain mengajarkan Agama Islam,
beliau juga memberi pemahaman tentang ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan
kesusasteraan.
Berkat kesolehan dan kearifannya, Kyai Kasan Besari diangkat menjadi menantu oleh Raja Keraton Solo. Setelah menjadi istri, Puteri Kraton Solo diboyong ke Tegalsari diikuti para pengiring yang beberapa diantaranya adalah pembatik kraton. Merekalah cikal bakal lahirnya keterampilan membatik masyarakat daerah Ponorogo.
Dari situlah, warga pesantren
Tegalsari mulai menyukai sarung bermotif batik. Mengingat kalangan diluar
kraton lebih menyikukai batik motif pesisiran, maka sarung itu pun dibuat menurut
pola pesisiran. Posisi tumpal di bagian belakang tanpa tumpal kepala sebelah
kiri karena bagian ini akan dijahit membentuk tabung.
Bahkan sarung punya peranan
penting dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda,
kain sarung merupakan salah satu bentuk perjuangan melawan budaya barat. Dan
para santri termasuk golongan masyarakat yang paling konsisten menggunakan
sarung saat kaum nasionalis abangan hampir meninggalkan sarung. Dimana mereka
mengganti sarung dengan celana formal karena alasan kepraktisan dan modernisasi.
Kalau dilihat-lihat, belakangan ini penggunaan busana tradisional di kalangan millenial cukup menggembirakan. Pria maupun wanita kini semakin berani memakai kain batik dan kebaya ditempat-tempat umum seperti mal atau kawasan kampus. Fenomena unik tersebut tak lepas dari kehadiran sarung-sarung printing yang beraneka motif dan warna.
Hal itu juga diiringi trend cowok millenial yang semakin PD mengenakan sarung saat melakukan aktifitas di area publik sebagai wujud kecintaan mereka pada budaya Nasional. Selain motif dan warna yang bervariasi, harga sarung batik printing juga bisa dibilang murah. Produksinya pun sudah masuk skala pabrikan.
Kebanyakan sarung terbuat dari kain katun standar kualitas sedang hingga rendah. Jadi, jangan heran kalau harganya
sangat terjangkau.
Sumber:
Buletin Tekstil Edisi 26.