Industri fashion selalu bergerak dinamis, namun dalam beberapa tahun terakhir, laju perputarannya kian dipercepat oleh fenomena yang disebut "micro trend." Berbeda dengan makro trend yang bertahan lama, micro trend adalah gaya atau item fashion yang muncul secara singkat, mendominasi media sosial, dan kemudian menghilang dengan cepat. Kehadiran micro trend ini, tanpa disadari, telah menjadi salah satu pemicu utama budaya konsumtif yang merajalela di kalangan masyarakat.
Apa Itu
Micro Trend?
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita pahami apa itu micro
trend. Jika dulu tren fashion bertahan selama musim, bahkan bertahun-tahun
(misalnya, skinny jeans, boho chic di awal 2000-an), micro trend hanya memiliki
masa hidup yang sangat pendek, seringkali hanya beberapa minggu atau bulan.
Mereka seringkali lahir dari platform seperti TikTok, Instagram, atau bahkan
serial TV dan film yang sedang populer. Contohnya bisa berupa warna tertentu
yang mendadak viral, aksesori unik, gaya potongan baju yang spesifik, atau
bahkan estetika keseluruhan yang muncul dan tenggelam dalam hitungan jari.
Contoh
Micro Trend yang Sering Muncul
1.
"Core"
Aesthetics (Estetika "Inti"): Ini adalah kategori micro trend
yang sangat populer dan seringkali muncul dari TikTok. Mereka adalah gaya
visual yang sangat spesifik dan banyak diantaranya dengan nama yang berakhiran
"-core". Contohnya: Coquettecore,
Balletcore, Cottagecore, Coastal Cowgirl, Quiet Luxury, Tomato Girl Summer,
dan lain-lain.
2.
Item
Fashion Spesifik yang Viral: Beberapa micro trend juga bisa fokus pada satu item
fashion yang tiba-tiba menjadi sangat populer. Misalkan: micro bags dengan ukuran sangat kecil, micro short, cargo pants,
chunky sneakers yang juga sering
disebut "dad shoes", puffy bag
(tas berbentuk bantal/empuk), gaun cut-out,
Y2K accessories yang terinspirasi
dari gaya awal tahun 2000-an, serta oversized
blazer.
3.
Warna atau
Pola Tertentu: Kadang-kadang, hanya warna atau pola tertentu yang mendadak
menjadi sangat tren. Seperti warna hijau lime
yang menjadi sangat populer di mana-mana (Brat
Summer), pola kotak-kotak hitam putih (checkerboard)
yang mendadak muncul di berbagai item pakaian dan aksesori, serta warna hot pink ala "Barbiecore"
setelah film Barbie dirilis yang menjadi tren besar global.
4.
Gaya Rambut
atau Make-up: Micro trend juga bisa merambah ke gaya rambut dan make-up.
Contohnya: Tatanan rambut sleek bun cepol
yang sangat rapi dan ketat, Make-up wajah "Clean Girl Aesthetic" yang
minimalis dan natural, dan lain sebagainya.
Micro trend ini seringkali muncul, didorong oleh
konten-konten haul di TikTok atau feed Instagram dari influencer, dan kemudian
dengan cepat meredup saat tren baru muncul. Kecepatan inilah yang membedakannya
dari tren fashion tradisional yang memiliki masa pakai lebih lama.
Bagaimana
Micro Trend Memicu Konsumerisme?
1. Siklus
Rantai Pasok yang Dipercepat (Fast Fashion)
Micro trend tidak akan bisa berkembang pesat tanpa dukungan
industri fast fashion. Merek fast fashion dengan cepat mereplikasi desain dari sebuah
micro trend yang muncul, dan akan membanjiri pasar dengan harga yang
terjangkau. Hal ini menciptakan siklus di mana konsumen merasa perlu untuk
terus membeli item baru agar tetap "up-to-date" dengan tren terbaru
yang terus berganti. Pakaian menjadi barang sekali pakai, bukan investasi
jangka panjang.
2. FOMO (Fear of Missing Out), Gegsi, dan Tekanan
Sosial
Platform media sosial adalah lahan subur sekaligus sumber
utama bagi micro trend. Ketika sebuah tren mulai viral, kita akan melihat
ribuan, bahkan jutaan, konten yang menampilkan item tersebut. Ini menciptakan
rasa takut ketinggalan (FOMO) di kalangan audiens. Ada tekanan tak terlihat
untuk ikut memiliki barang tersebut agar merasa relevan, diterima, atau sekadar
bagian dari "gelombang" yang sedang terjadi. Influencer dan selebriti
yang memakai item micro trend tertentu semakin memperkuat tekanan ini,
seolah-olah item tersebut adalah "kunci" untuk mendapatkan gaya hidup
yang diinginkan.
3. Ilusi
Keterjangkauan dan Kebaruan yang Konstan
Harga yang relatif murah dari produk fast fashion yang
mengadaptasi micro trend menciptakan ilusi bahwa membeli pakaian baru bukanlah
masalah besar. Konsumen merasa bisa "bereksperimen" dengan berbagai
gaya tanpa pengeluaran besar. Namun, kebaruan ini berumur pendek. Begitu micro
trend lain muncul, item yang baru dibeli akan terasa usang, memicu keinginan
untuk membeli lagi. Ini adalah lingkaran setan yang mendorong pembelian
impulsif dan tidak terencana.
4.
Personifikasi Diri yang Dangkal
Di era digital, fashion seringkali menjadi cara untuk
mengekspresikan diri secara online. Micro trend menawarkan kesempatan instan
untuk menunjukkan bahwa seseorang mengikuti perkembangan zaman,
"gaul," atau memiliki selera yang kekinian. Namun, karena sifatnya
yang cepat berlalu, identitas yang dibangun melalui micro trend cenderung
dangkal dan sementara, mendorong seseorang untuk terus mencari identitas baru
melalui pembelian selanjutnya.
5. Dampak
Lingkungan dan Etika yang Terabaikan
Di balik gemerlap micro trend dan konsumsi yang tak henti,
ada dampak serius yang sering terabaikan. Produksi fast fashion yang masif
untuk memenuhi permintaan micro trend menyebabkan limbah tekstil yang sangat
besar, polusi air dan udara, serta eksploitasi tenaga kerja. Konsumen yang fokus
pada pengejaran tren sesaat seringkali tidak menyadari atau memilih untuk
mengabaikan konsekuensi etis dan lingkungan dari kebiasaan belanja mereka.
Mengatasi
Pusaran Konsumtif
Kesadaran akan dampak micro trend adalah langkah pertama
untuk keluar dari pusaran konsumtif ini. Ada beberapa strategi yang bisa
dilakukan untuk menhindari arus, antara lain:
·
Berinvestasi
pada Pakaian Berkelanjutan: Pilih pakaian berkualitas tinggi yang tahan lama dan
diproduksi secara etis.
·
Kembangkan
Gaya Personal: Fokus pada gaya yang mencerminkan diri kamu dan apa yang
nyaman bagimu, bukan sekadar mengikuti tren sesaat.
·
Belanja
dengan Sadar: Pertimbangkan apakah kamu benar-benar membutuhkan suatu
barang sebelum membelinya.
·
Daur Ulang
dan Perbarui: Manfaatkan pakaian lama dengan mendaur ulang atau
memodifikasinya.
·
Edukasi
Diri: Pelajari dan pahami dampak lingkungan dan sosial dari
industri fashion.
Micro trend memang menawarkan dinamisme dan kesenangan dalam
dunia fashion, tetapi kita perlu menyadari bahwa di balik itu terdapat dorongan
kuat terhadap konsumerisme yang merugikan. Dengan memahami bagaimana micro
trend bekerja dan dampaknya, kita dapat membuat pilihan yang lebih bijak
sebagai konsumen dan berkontribusi pada industri fashion yang lebih
berkelanjutan dan bertanggung jawab.