Pernah nggak sih kamu merasa capek mengikuti tren fashion yang datang dan pergi secepat swipe di layar TikTok? Hari ini semua orang pakai warna pastel, besok sudah ganti jadi gaya gothic. Rasanya belum sempat pakai tren yang kemarin, eh sudah basi. Ini bukan cuma perasaanmu saja. Memang begitulah realitas dunia mode sekarang—cepat, terus berubah, dan dikendalikan oleh algoritma media sosial.
Algoritma
yang Mengatur Gaya Kita?
Platform seperti TikTok dan Instagram bukan lagi sekadar
tempat pamer OOTD. Algoritma di baliknya kini ikut menentukan tren apa yang
muncul, seberapa cepat tren itu menyebar, bahkan tren apa yang akan digantikan
berikutnya. Brand fashion cepat seperti Shein atau Zara menangkap sinyal tren
ini dari media sosial, lalu langsung memproduksi ribuan pakaian berdasarkan like dan share.
Masalahnya, sistem ini sering membuat kita membeli bukan
karena butuh, tapi karena takut ketinggalan. Akibatnya? Lemari penuh baju yang
hanya dipakai satu-dua kali, dan gunungan limbah tekstil yang makin tinggi.
Lahirnya
Gerakan “Quiet Fashion”
Tapi kabar baiknya, makin banyak orang yang sadar dan mulai
melawan—dengan cara yang tenang. Mereka memilih keluar dari lingkaran tren
instan dan membangun gaya personal yang lebih bermakna. Ada yang mulai menjahit
sendiri, berburu baju vintage, hingga
ikut komunitas tukar pakaian.
Gerakan ini dikenal dengan istilah “quiet fashion” atau
“anti-trend”. Intinya, gaya bukan lagi tentang validasi sosial, tapi tentang
kenyamanan, keaslian, dan keberlanjutan. Ini bukan berarti tampil
membosankan—justru sebaliknya. Gaya yang tidak ikut-ikutan sering terasa lebih
kuat dan berkesan.
Media
Sosial Bukan Musuh
Yang menarik, media sosial justru bisa jadi alat perlawanan
juga. Banyak aktivis mode seperti Venetia La Manna atau Aja Barber menggunakan platform ini untuk menyuarakan kritik
terhadap industri fashion yang tidak adil. Mereka mengajak kita melihat siapa
yang membuat baju kita, bagaimana kondisi kerjanya, dan dampaknya bagi
lingkungan.
Lewat edukasi, kampanye, dan diskusi terbuka, mereka
membalikkan peran media sosial—dari alat konsumerisme jadi alat kesadaran.
Gaya Adalah
Pernyataan Diri
Pada akhirnya, mode adalah soal pilihan. Kita bisa memilih
untuk terus mengikuti algoritma, atau berhenti sejenak dan bertanya: “Apakah
gaya ini benar-benar mewakili diriku?”
Ketika kita mulai membangun gaya yang mencerminkan siapa
kita, bukan apa yang sedang tren, di situlah perlawanan diam-diam dimulai. Dan
kadang, bentuk revolusi terbaik bukan yang paling ramai, tapi yang paling
konsisten.