Pasar thrifting kembali memanas setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengumumkan langkah tegas terhadap praktik impor pakaian bekas ilegal. Kebijakan ini memicu gelombang protes dari para pedagang thrift yang mengaku terpaksa gulung tikar.
Namun di sisi lain, dianggap sebagai langkah penting untuk menyelamatkan industri tekstil nasional dari tekanan produk luar negeri berharga murah.
Selama beberapa tahun terakhir, pasar pakaian bekas impor atau balpres tumbuh subur di berbagai kota besar Indonesia. Barang-barang thrift yang harga jualnya jauh di bawah produk lokal, berhasil menarik minat konsumen, terutama generasi muda. Arus thrift market yang makin tak terkendali telah menciptakan dampak serius dalam rantai pasok industri tekstil dalam negeri. Kebijakan Menteri Purbaya: Tegas, Tapi Menuai Kontroversi
Menanggapi situasi ini, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas mengungkap bahwa praktik thrifting berbasis impor ilegal harus diberantas tuntas. Ia mengaku sudah mengantongi nama-nama pelaku impor pakaian bekas ilegal dan siap menindak tegas mereka.
Langkah ini tidak hanya bersifat
simbolis. Pemerintah bekerja sama dengan Bareskrim Polri untuk
menertibkan peredaran pakaian bekas ilegal dan memberikan efek jera bagi mafia
impor yang merugikan industri tekstil nasional.
Menteri Purbaya menilai, praktik
impor pakaian bekas ilegal tidak hanya melanggar aturan perdagangan, tetapi
juga merusak struktur ekonomi nasional.
“Kalau yang pelaku thrifting
nolak-nolak itu ya saya tangkap duluan dia. Berarti dia pelakunya, clear,”
tegas Purbaya.
Dalam hal ini, pemerintah juga menyiapkan sanksi berupa denda hingga blacklist perusahaan yang terbukti melakukan praktik impor ilegal. Kebijakan tersebut didukung penuh oleh Bareskrim Polri serta Kementerian Perindustrian, karena menjadi salah satu langkah strategis dalam upaya pemulihan industri tekstil nasional.
Di lapangan, kebijakan ini
membawa dampak besar. Banyak pedagang pakaian bekas mengaku kehilangan sumber
penghasilan karena stok barang dari luar negeri tertahan di pelabuhan atau
dilarang masuk sepenuhnya.
Beberapa pedagang bahkan
mengungkapkan bahwa omzet mereka yang semula bisa mencapai jutaan rupiah per
hari kini menurun drastis hingga 90 persen. (Jawapos.com, November 2025).
Mereka menilai kebijakan ini terlalu mendadak tanpa adanya solusi transisi yang jelas. Sebaliknya, pemerintah berpendapat bahwa pengetatan ini merupakan upaya jangka panjang untuk melindungi industri tekstil domestik yang selama ini terhimpit oleh gempuran barang bekas impor.
Bagi pelaku industri tekstil, langkah tegas pemerintah ini membawa tantangan sekaligus peluang besar.
Dampak positif pemberantasan produk thriting
1. Pemulihan Pasar Produk Lokal
Dengan menurunnya pasokan pakaian bekas impor,
konsumen berpotensi kembali melirik produk tekstil buatan lokal. Ini membuka
peluang bagi produsen kain dan pabrik garmen untuk meningkatkan kapasitas
produksi serta memperkuat daya saing di pasar domestik.
2. Dorongan untuk Inovasi dan Kualitas
Kompetisi yang selama ini ditekan oleh harga murah
pakaian bekas kini bergeser ke ranah kualitas dan nilai tambah. Produsen kain
perlu menghadirkan bahan yang lebih kuat, nyaman, serta estetis agar tetap
diminati.
3. Peluang bagi Produk Ramah Lingkungan
Meskipun thrifting sering dikaitkan dengan
keberlanjutan, industri tekstil lokal juga dapat mengambil peran dengan
mengembangkan produk berbasis eco-friendly — seperti kain daur ulang, serat
bambu, atau katun organik. Ini bukan hanya menjawab tren hijau global, tetapi
juga memperkuat citra positif produk buatan Indonesia.
4. Transformasi Bisnis Lokal
Pedagang thrift yang terdampak bisa diarahkan untuk
berkolaborasi dengan produsen lokal. Mereka dapat menjadi agen distribusi
produk UMKM tekstil, pengrajin upcycling, atau mitra usaha konveksi yang
menjual produk hasil produksi dalam negeri.
Meskipun kebijakan ini membuka
peluang bagi produsen tekstil, tantangan utama tetap ada pada aspek daya saing.
Harga bahan baku, biaya produksi, dan efisiensi rantai pasok masih menjadi
kendala besar bagi industri tekstil nasional.
Tanpa perbaikan infrastruktur
produksi, pelaku industri tetap berisiko kalah bersaing, bukan lagi dengan
pakaian bekas, tetapi dengan produk impor baru dari negara lain.
Selain itu, perlu adanya dukungan
kebijakan lanjutan seperti:
·
Insentif untuk produsen yang beralih ke bahan
berkelanjutan.
·
Pelatihan bagi pedagang thrift agar bisa
bertransformasi menjual produk lokal.
· Kemudahan akses pembiayaan untuk pabrik tekstil kecil dan menengah.
Larangan impor pakaian bekas memang menimbulkan gejolak di kalangan pedagang thrift. Tapi bagi industri tekstil, kebijakan ini bisa menjadi momentum penting untuk membangun kembali ekosistem fesyen nasional yang sehat, mandiri, dan berdaya saing.
Purbaya Gencet Impor Pakaian Bekas, Industri Tekstil Lokal Siap Bangkit?
Asal Usul Saku pada Pakaian: Dari Kantong Pinggang hingga Fashion Modern
Indonesia Menuju Kiblat Modest Fashion Dunia: Peluang dan Tantangan
Mengenal Multi Chanel Marketing, Strategi Kunci Bisnis Masa Kini
Kain Emboss: Tekstur Unik yang Bikin Tampil Berbeda
Sejarah dan Fakta YKK, Bukan Merk Resleting Biasa
Mini Bag, Micro Bag, dan Nano Bag — Serupa Tapi Tak Sama
Cultural Couture, Ketika Keberagaman Budaya Jadi Identitas Fashion Global
Avant-Garde: Seni, Fashion, dan Pemikiran di Luar Batas