Dunia kehilangan salah satu figur paling berpengaruh dalam industri mode, Giorgio Armani.” Perancang busana legendaris ini, meninggal dunia pada Jumat, 4 September 2025 di usia ke-91 tahun. Kepergian sang maestro sekaligus pemilik julukan “The King of Blazer” menyisakan duka yang mendalam.
Keberanian Armani dalam menentang mode tradisional tak hanya mengubah industri mode, tetapi juga memberikan pengaruh besar terhadap budaya populer. Sejak revolusi setelan pria yang dilakukannya pada tahun 1970-an, hingga membangun kerajaan mode global. Dampaknya begitu terasa, terutama di industri perfilman, desain interior, dan estetika global.
Lantas, bagaimana perjalanan
Armani dlam merekonstruksi lanskap fesyen? Simak ulasannya, yuk!
Sebelum mendirikan labelnya sendiri, Armani mengasah kemampuannya di beberapa rumah mode terkemuka. Pada tahun 1975, bersama rekannya Sergio Galeotti, ia mendirikan Armani SpA. Koleksi perdana mereka langsung mencuri perhatian dengan jaket tanpa lining dan celana tailored dalam palet warna netral yang terasa modern dan tak lekang oleh waktu.
Desain tersebut benar-benar mendobrak lanskap mode yang kaku era 60-an dan flamboyan era 70-an. Lalu menggantikannya dengan siluet yang lebih modern, terkesan maskulin, santai, juga penuh gairah dan rasa percaya diri. Armani berhasil "mendemokratisasi" pakaian formal, menjadikannya lebih mudah diakses dan dipakai sehari-hari, namun tetap memancarkan kesan berwibawa.
Dan dari situlah Armani mendapatkan gelar "The King of Blazer."
Popularitas Armani semakin meluas
ke pasar Amerika berkat sebuah film ikonik. American Gigolo (1980) tidak hanya
melambungkan karier Richard Gere, tetapi juga mengubah pandangan publik tentang
setelan pria. Armani adalah sosok di balik layar yang merancang seluruh busana
Gere, termasuk setelan cokelat muda yang revolusioner, sensual, dan santai.
Sejak saat itu, karya Armani menjadi langganan di berbagai film, dari gangster di Goodfellas, para bankir di The Wolf of Wall Street, hingga superhero ikonik di The Dark Knight. Kolaborasi antara sinema dan mode tak bisa dipisahkan dari namanya.
Revolusi mode yang dibawa Armani
tidak hanya berlaku untuk pria. Ketika perempuan membanjiri dunia kerja pada
1980-an, mereka beralih ke desain Armani untuk mendapatkan pakaian kerja yang
tegas namun tetap halus. Busana ini seolah menjadi "tameng" bagi
mereka dalam menghadapi budaya kerja yang kaku pada masa itu.
Armani percaya bahwa pria dan wanita itu setara, termasuk dalam hal berpakaian.
"Saya menyadari bahwa mereka
membutuhkan cara berpakaian yang setara dengan pria. Sesuatu yang akan memberi
mereka martabat dalam kehidupan kerja mereka," ungkapnya di sebuah
wawancara.
Jawaban untuk pergeseran ini
adalah setelan jas yang memancarkan kekuatan. Dengan bahu yang tegas, kerah
lebar, dan sentuhan glamor Hollywood, pemberdayaan perempuan menemukan
bentuknya dalam siluet ala Katharine Hepburn yang santai. Hal ini terlihat
jelas pada penampilan Diane Keaton yang mengenakan dasi dan celana panjang
longgar di Annie Hall, atau "Cinderella Suit" Julia Roberts di Golden
Globes 1990 yang elegan, kuat, dan nyaman.
Meskipun sang maestro telah tiada, visinya akan terus hidup, tercermin dari sorotan lampu di karpet merah Hollywood dan di balik jendela butiknya yang tersebar di seluruh dunia.