Kenapa banyak orang rela
menghabiskan uang puluhan, bahkan ratusan juta rupiah untuk sebuah barang?
Sebuah keputusan yang sering dianggap tidak rasional, mengingat ada banyak
pilihan produk dengan fungsi serupa dan harga jauh lebih terjangkau.
Namun, pada kenyataannya daya
tarik barang mewah lebih dari sekadar kebutuhan fungsional. Nilai lebih mendalam
dan menyentuh sisi psikologis, emosional, serta sosial manusia.
Fenomena membeli
barang mewah semakin dinamis dan menyentuh lebih banyak ruang sosial. Bahkan
beberapa tahun belakangan, generasi milenial dan Gen Z menjadi konsumen
terbesar di pasar luxury brand.
Meksipun konsumerisme produk luxury brand kerap dikonotasikan dalam konteks negatif. Namun, jika dilihat dari sudut pandang lebih luas, sebenarnya ada banyak alasan yang memotivasi seseorang untuk memiliki barang-barang dengan harga selangit ini.
Tas, jam tangan, hingga mobil
sport tak lagi dipandang sebagai barang fungsional atau aksesoris, melainkan
cerminan kualitas diri. Sebagian orang membeli produk-produk branded karena
alasan psikologis, seperti:
Berikut beberapa alasan
psikologis yang mendasari fenomena ini:
Beberapa tahun terakhir, media sosial telah mengubah
sudut pandang seseorang terhadap kepemilikan barang mewah. Platform seperti
Instagram, TikTok, dan YouTube kini jadi etalase utama yang terus-menerus
memamerkan gaya hidup glamor dan produk-produk mahal. Dari sinilah awal mula
gerakan konsumerisme barang mewah.
Kehidupan medsos membuat banyak orang seringkali mempertimbangkan kebiasaan dan gaya hidup orang lain sebagai patokan. Ia menciptakan sebuah "panggung" dimana setiap orang bisa menampilkan versi terbaik dari diri mereka. Dan barang mewah menjadi properti penting untuk dipamerkan pada pengikut mereka. Tas mahal atau jam tangan mewah merupakan bentuk investasi sosial untuk meningkatkan citra diri dan status mereka di dunia maya.
Baca Juga: Jangan Lakukan! 9 Kesalahan yang Bikin Kamu Kena Denda Saat Menginap di Hotel |
Diantara alasan utama konsumerisme barang mewah adalah
kebutuhan manusia akan pengakuan dan status. Barang-barang tersebut kerap
dijadikan sebagai penanda visual atas kekuasaan serta keberhasilan finansial
seseorang. Jam tangan mahal, tas desainer, atau mobil sport adalah cara
non-verbal untuk menunjukkan posisi sosial yang tinggi.
Hal-hal tersebut memberikan rasa validasi, memperkuat
citra pribadi yang sukses dan berpengaruh. Dalam banyak kasus, seseorang membeli
barang branded dibeli bukan hanya dinikmati sendiri, tetapi juga untuk dilihat
orang lain dan menjadikannya sebuah investasi sosial.
Ada juga kecenderungan psikologis yang membuat banyak
orang mengaitkan harga dengan kualitas. Mereka
beranggapan bahwa "barang mahal pasti lebih bagus," meskipun faktanya
tidak selalu demikian.
Produk Apple, misalnya, memiliki loyalitas pelanggan
yang sangat tinggi bukan hanya karena fitur, melainkan karena citra eksklusif
yang mereka bangun. Persepsi ini membuat orang merasa mendapatkan kualitas dan
keunggulan yang tidak bisa ditandingi oleh produk lain.
Barang mewah juga menjadi alat penting untuk
mengekspresikan identitas dan gaya pribadi. Setiap merek memiliki cerita,
sejarah, dan estetika uniknya. Dengan memilih merek tertentu, seseorang bisa mengkomunikasikan
dirinya dan bagaimana personal stylenya. Apakah dia sosok yang klasik, modern,
berani, atau elegan. Barang mewah menjadi bagian dari narasi pribadi dalam membangun
sebuah citra diri di tengah keramaian.
Secara psikologis, pembelian barang mewah seringkali dilakukan
sebagai bentuk penghargaan diri atau self-reward. Setelah bekerja keras dan
menabung, memiliki barang yang diidam-idamkan bisa memberikan rasa gembira,
bangga, dan puas. Ini adalah "retail
therapy" yang memberikan pemenuhan emosional, membuat mereka merasa
pantas mendapatkan hal tersebut.
Perasaan bahagia yang didapat dari pembelian ini sering
kali menjadi dorongan kuat, bahkan jika keputusan itu tidak sepenuhnya rasional
dari sisi finansial.
Sebagian orang menganggap barang branded merupakan aset
investasi yang cukup potensial dan profitable.
Tak seperti investasi saham atau properti, beberapa jenis barang mewah memiliki
nilai eksklusifitas yang terus meningkat. Seperti halnya koleksi handbag dari
merk Hermes atau Chanel, jam limited edition by Patek Philippe atau Rolex,
serta karya seni lain.
Berikut beberapa hal yang mendorong kepemilikan barang
mewah menjadi sebuah investasi:
·
Kelangkaan
(Scarcity)
Banyak merek
mewah memproduksi barang dalam jumlah sangat terbatas, kadang bahkan hanya
untuk pelanggan terpilih. Kelangkaan ini menciptakan permintaan yang tinggi dan
membuat harga terus naik di pasar sekunder.
·
Kisah dan
Warisan (Heritage)
Merek dengan
sejarah panjang dan reputasi yang kuat cenderung lebih stabil. Pembeli tidak
hanya mendapatkan produk, tetapi juga "bagian" dari sejarah merek
tersebut.
·
Daya
Tarik Abadi (Timeless Appeal)
Desain klasik yang
tidak lekang oleh waktu sangat dicari. Misalnya, tas tangan Hermes Birkin atau
jam tangan Rolex Submariner adalah contoh produk yang tetap relevan dan berharga
meskipun sudah puluhan tahun.
Pada akhirnya, membeli barang
mewah merupakan sebuah keputusan yang sangat pribadi. Tidak ada satupun jawaban
pasti yang bisa menjelaskan motivasi dibalik semua itu.