Bergelut di bidang batik membuat para
pembatik punya cara pandang tersendiri dalam memilih dan mengenali kain yang
akan dipergunakan sebagai bahan batik. Hal tersebut tentunya berkaitan dengan pengalaman
mereka membuat kain batik selama bertahun-tahun.
Tak seperti sarjana tekstil atau pekerja
pabrik tekstil, para pembatik senior tidak berbekal pengetahuan maupun
teknologi sebagaimana diajarkan di sekolah. Itulah alasan kenapa pengrajin batik
lebih mengenal bahan batik berdasarkan merek dagang yang ada di pasaran dan
bukan spesifikasi teknisnya.
Kali ini kita akan membahas secara khusus tentang media batik berbahan dasar serat katun atau yang lebih dikenal sebagai kain mori. Kain-kain tersebut umumnya dibuat dari tenunan benang katun dengan nomor benang atau Ne 30s hingga 80s. Makin besar Ne benang dan konstruksinya, makin halus pula handfeel kainnya.
Sebelum tahun 1800an, pembatik di
Pulau Jawa masih mengimpor kain mori berkualitas dari India. Namun memasuki
tahun 1825-an, mereka mendatangkan kain-kain tersebut dari Belgia dan Inggris.
Lebar kain antara 100 sampai 110 cm.
Tahukah kamu kenapa panjang rata-rata
kain batik sekitar 2,25 hingga 2,5 meter? Konon hal itu berkaitan dengan
standar potong kain dari mesin tenun yaitu 15yard dan 16,5 yard. Sesuai tradisi
masing-masing pabrik di Belgia maupun Inggris.
Pembatik akan membagi gulungan
mori yang panjangnya 15 yard menjadi potongan kain batik berukuran panjang 2,28
cm. Sedangkan gulungan dengan total panjang 16,25 yard akan diperoleh batik sepanjang
2,56 cm. Khusus untuk sarung batik, satu gulung mori dibagi menjadi 7 potong sehingga
panjangnya berkisar 195 cm hingga 214 cm. Dan kebiasaan itu dibawa sampai saat
ini.
Seorang ahli batik yang sudah berpengalaman biasanya memiliki kemampuan mengenali perbedaan kain batik kuno. Bahkan hanya mengandalkan kemampuan pancaindranya seperti dilihat, dipegang, diraba, diremas, diterawang, dan dibentangkan. Cara ini dikenal sebagai metode uji sensoris.
Berikut merk dan ciri khas kain mori untuk bahan batik yang sempat populer pada masanya:
1.
Mori Katun Dari India
Secara ilmiah dapat dijelaskan bahwa pada kain
impor dari India mempunyai pertanda khusus. Pabrik tenun India punya
tradisi menyisipkan benang pakan berwarnan biru atau cokelat untuk menandai panjang
kain per sekian yard. Benang-benang tersebut dibiarkan menjuntai dan terlihat
di pinggiran rol kain batik.
2.
Mori Katun Dari Inggris
Sementara kain
katun sepanjang 16,5 m yang didatangkan dari Inggris dan Belgia pada periode
tahun 1825 sampai 1900-an diberi tulisan 16 dengan setik rantai
(chain Stich). Ciri berikutnya yaitu mengidentifikasi tetal atau kerapatan
benang lusi (arah membujur) dan benang pakan (arah melintang). Uniknya, metode ini
tertulis pada buku Handleiding voor het Schatten milik juru taksir
Rumah Gadai di Batavia yang diterbitkan tahun 1910.
Perusahaan tenun Eropa menerapkan quality
control dan grading yang cukup ketat. Sehingga mereka menamai kain
mori sepanjang 16, 5 yard tanpa cacat tenun dengan sebutan Primissima.
Jadi secara harafiah, Primissima adalah kain tenun berkualitas tinggi dan
tidak terdapat cacat apapun. Sejak saat itu, istilah Primissima menjadi
acuan sebagai kualitas bahan kain batik yang paling bagus.
3.
Mori Katun Belgia
Tahun 1824, NHM (Nederlandsche Handel Maatschappij)
di Belgia mendirikan pabrik pertenunan bernama Twente yang memproduksi mori katun
bermutu tinggi. Kain-kain tersebut dijual ke pulau Jawa sebagai bahan
batik, lalu produk jadi berupa kain batik kembali diekspor ke Eropa.
Mori produksi Twente ini dikenal dengan merk Cap
Cen. Karena tiap sekian yard produsen menyelipkan dan menjahit mata
uang satu sen. Sedangkan kain yang mutunya lebih rendah disebut Cap Leo.
Uniknya, tiap sekian yard padamori itu diberi stempel gambar Singa
menggunakan tinta biru.
Tapi itu dulu ya selama
periode tahun 1800-an dan masuk ke Indonesia melalui NHM yang menggantikan
peran VOC dalam distribusi barang. Yang jelas mori Cap Cen dan mori Cap
Leo itu sekarang tinggal cerita. Jikapun ada penjual mori
Cap Cen patut dicurigai kalau produknya hanya tiruan.
Sejak awal tahun 1900-an kain mori Belgia digantikan mori asal Inggris. Tepatnya dari Cambridge yang tak lain adalah kota industri bersejarah dalam dunia tekstil. Saking populernya, banyak orang saat itu menyebut mori dari Inggris ini sebagai kain cambric.