Industri garmen Indonesia terus
mencari cara agar produknya tetap relevan di pasar global yang semakin
kompetitif. Selain harga dan desain, kualitas jahitan kini muncul sebagai
faktor penentu. Bukan hanya soal estetika, melainkan tentang daya tahan,
keamanan produk, dan reputasi merek.
Jahitan menjadi senjata strategis sekaligus tantangan pabrikan lokal, dan
langkah praktis sudah dan bisa ditempuh agar garmen Indonesia tetap laku
di pasar ekspor.
Pembeli internasional (brand besar, retailer, dan konsumen akhir) menuntut produk yang berkualitas, konsisten, tahan lama, dan minim defect. Cacat jahitan, seperti kelim terlepas, jarum terlewat, atau kerapatan jahitan yang tidak sesuai. Pada akhirnya, yang datang bukannya keuntungan tetapi barang retur, kerugian ekonomi, dan rusaknya kepercayaan buyer.
Bahkan dii era digital seperti saat ini, satu ulasan negatif atau batch retur bisa menyebar dengan cepat dan menurunkan chance repeat order. Oleh karena itu pabrikan yang mampu menjamin standar jahitan tinggi punya posisi tawar lebih kuat.
Banyak pabrik menghadapi masalah
internal seperti umur mesin yang sudah tua, proses QC tidak terkontrol, dan
keterbatasan program pelatihan operator jahit. Aspek-aspek tersebut membuat mereka
kesulitan mempertahankan kualitas jahitan. Apalagi jika hanya mengandalkan
proses tradisional.
Mereka juga tekanan eksternal
yang memengaruhi daya saing produk garmen Indonesia, diantaranya yaitu:
·
Persaingan dari produk murah (mis. masuknya
produk Tiongkok),
·
Fluktuasi nilai tukar,
·
Regulasi/perdagangan internasional yang
berubah-ubah
Isu-isu tersebut sudah memberi dampak
signifikan pada beberapa pemain besar bisnis ini selama periode tahun 2024–2025.
Berikut praktik yang dapat
langsung diterapkan oleh konveksi dan pabrik garmen untuk memperbaiki kualitas
jahitan — sebagian sudah diaplikasikan oleh pabrik yang berhasil mempertahankan
order ekspor.
Terapkan SOP untuk tiap line (parameter tension, stitch
length, needle type) dan buat checkpoint inspeksi di beberapa tahap (inline
inspection, end-line inspection). Standar ini mempermudah deteksi dini cacat
dan mengurangi jumlah barang cacat yang masuk paket ekspor.
Investasi pada program pelatihan rutin untuk operator
menjamin teknik jahit, troubleshooting mesin, dan pemahaman toleransi kualitas.
Operator yang terlatih juga lebih cepat mengidentifikasi penyebab cacat. Studi
menunjukkan bahwa kualitas kerja sangat bergantung pada pelatihan dan praktik
berkelanjutan.
Uji kekuatan jahitan (seam strength), uji slippage,
dan pemeriksaan density/stitch per inch harus menjadi bagian dari QC. Alat
sederhana sekalipun — jika dipakai konsisten — bisa menurunkan tingkat cacat.
Otomasi selektif (mis. cutting otomatis, mesin jahit
otomatis untuk jahitan lurus panjang atau chainstitch tertentu) meningkatkan
konsistensi dan mengurangi human error. Namun, automasi juga butuh investasi
dan program upskilling untuk pekerja agar transisi berjalan adil. Banyak
pabrikan global memadukan automasi dengan tenaga manusia untuk hasil optimal.
Buyer internasional kerap meminta laporan audit kualitas
dan kepatuhan. Mengikuti standar dan audit meningkatkan kredibilitas,
memudahkan akses ke pasar yang membayar margin lebih baik.
Laporan industri dan outlook
2024–2025 menunjukkan bahwa meski volume ekspor menghadapi tekanan, produsen
yang berfokus pada kualitas dan sertifikasi cenderung mempertahankan atau
meningkatkan pangsa pasar di segmen bernilai tambah. Dengan fokus pada kualitas
(termasuk kualitas jahitan), pabrik bisa membidik buyer yang mengutamakan
durability dan kepatuhan, bukan sekadar harga terendah.