Peningkatan konsentrasi CO2 sebagai salah satu produk emisi industri telah menjadi perhatian dan permasalahan global. Berdasarkan pengukuran CO2 di atmosfer yang dilakukan oleh National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat tahun 2020, kadar gas CO2 di atmosfer telah meningkat sebesar 50% dari level pra-industri pada kadar atmosfir 421 parts per million (ppm).
Tahun 2022 menjadi rekor
tertinggi emisis CO2. Polusi CO2 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil
untuk transportasi, pembangkit listrik, proses manufaktur semen, serta
aktifitas lainnya. Karbon dioksida bersama gas rumah kaca akan memerangkap panas
dari permukaan Bumi. Jika gas tersebut tidak lolos ke luar angkasa maka atmosfer
terus menghangat. Kondisi ini sangat berdampak pada cuaca, seperti panas
ekstrem, kekeringan, kebakaran hutan, curah hujan tinggi, banjir, hingga badai
tropis.
Secara alami, pohon dan tumbuhan mampu
menyerap gas CO2 yang terperangkap di atmosfer. Akan tetapi, fakta
di lapangan menunjukkan terbatasnya ketersidaan lahan hijau terbuka dan
perhutanan. Hal tersebut menjadi pengingat bahwa kita perlu mengambil langkah
cepat dan solusi inovatif yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasinya.
Para peneliti mengembangkan berbagai
teknologi penangkap karbon yang diharapkan bisa menjadi solusi alternatif dari
permasalahan polusi CO2 dunia. Salah satunya yaitu metode
penangkapan karbon dengan proses elektrokimia.
Akan tetapi metode tersebut membutuhkan biaya listrik tinggi dan harus dikeluarkan dalam proses reduksi gas CO2 pada sel elektrokimia. Artinya, masih diperlukan teknologi inovatif penangkap polusi CO2 yang lebih komprehensif dari segi biaya dan efektifitasnya.
Bahan tekstil fungsional yang mampu menyerap CO2 di udara merupakan terobosan baru para peneliti NCSU. North Caroline State University (NCSU), Amerika Serikat mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk jurnal ACS Sustainable Chemical Engineering.
Sifat fungsional tersebut berasal dari penyisipan bahan aktif bernama carbonic anhydrase pada material tekstil. Sehingga kain itu dapat menyerap gas CO2 yang mengambang di udara. Proyek pun berjalan sukses berkat pendanaan U.S Departement of Energy serta kolaborasi dengan Dr. Min Zhang (National Renewable Energy Laboratory), Dr. Jesse Thompson (University of Kentucky’s Center for Applied Energy Research), dan dukungan perusahaan Novozymes selaku produsen enzim carbonic anhydrase.
Bahan tekstil fungsional berbahan
dasar substrat kain katun yang permukaannya ditempelkan enzim carbonic
anhydrase. Carbonic Anhydrase terdapat di semua jaringan mamalia, tanaman,
alga, dan bakteri yang membantu konversi CO2 dan air menjadi
bikarbonat (HCO3-) dan proton (H+) atau sebaliknya.
Mekanisme ini sangat penting dalam kehidupan, pusat respirasi, pencernaan, dan pengaturan tingkat pH seluler. Air dibutuhkan dalam proses pemecahan gas karbondioksida. Katun dipilih sebagai substrat utama karena bersifat higroskopis dan mudah menyerap air. Dengan begitu, area kontak kain dan gas untuk melakukan konversi jadi lebih luas.
Untuk membuat kain fungsional
tersebut, enzim dilekatkan pada lembaran kain katun dua lapis dengan
‘mencelupkan’ kain ke larutan kitosan. Dalam hal ini, larutan kitosan berguna
sebagai lem perekat yang mengikat carbonic anhydrase.
Para peneliti melakukan serangkaian
percobaan untuk melihat tingat efisienitas kain dalam memisahkan CO2 dari
campuran karbon dioksida dan nitrogen. Tujuannya yakni mengetahui daya serap
bahan tekstil secara selektif pada campuran gas di atmosfer.
Pada uji coba tersebut, kain
digulung menjadi spiral dan dimasukkan ke dalam sebuah cerobong. Kemudian
para peneliti memasukan gas karbon dioksida dan nitrogen serta menyemprotkan
embun secara bersamaan. Saat gas CO2 bereaksi dengan air dan
enzim, CO2 berubah menjadi bikarbonat dan menetes ke filter. Hasilnya
berupa larutan bikarbonat yang dapat direaksikan dengan kalsium membentuk batu
kapur.
Keunggulannya yaitu proses
penyerapan CO2 dari lingkungan berjalan pasif tanpa energi listrik
dalam mekanisme kimianya. Peneliti mendorong campuran gas CO2 dan
N2 melalui ceborong berisi kain dengan kecepatan 4 liter per
menit (lpm). Lalu didapatkanlah kain yang dapat menyerap 52,3% karbon dioksida.
Peneliti juga mengklaim bahwa
proses penyerapan menggunakan metode ini sebanyak dua passage dapat menyerap 81,7%
CO2. Hal ini menunjukan potensi kinerja cukup positif dari bahan yang diusulkan
para peneliti. Penerapan teknologi di saluran pembuangan gas kendaraan juga
masih dikaji lebih lanjut. Berkenaan dengan suhu lingkungan di sistem
pembuangan gas kendaraan yang cenderung cukup panas berpotensi menurunkan
stabilitas kinerja enzim carbonic anhydrase untuk menyerap karbondioksida.
Carbon Looper adalah merk kain katun penangkap karbon hasil kerja sama institusi H&M Foundation dan HKRITA (Hong Kong Research Institute of Textiles and Apparel). Tekstil fungsional tersebut diperoleh dari pengolahan kain katun dengan larutan amina dan menciptakan kain penangkap karbon dioksida.
Produk Carbon Looper berbentuk apron masak dipakai oleh salah satu restoran di kota Stockholm
CO2 dilepaskan melalui pemanasan hingga 30-40°C. Dalam rumah kaca CO2 diambil oleh tanaman selama fotosintesis, sehingga karbon dioksida dilingkarkan kembali ke siklus karbon alami. Dengan kata lain karbon yang telah ditangkap tidak diubah namun tetap dilepaskan dalam kondisi tertentu. Ketika kain dihangatkan pada suhu 40oC, jumlah CO2 yang diserap oleh pakaian berukuran standar per harinya setara 1/3 dari jumlah yang diserap pohon. Dengan asumsi pohon menyerap 15 – 60 gram CO2 per hari.
Tahap penelitian melibatkan
pengujian langsung bekerja sama dengan Fotografiska Stockholm, dimana staf
restoran mengenakan apron Carbon Loopers. Keberadaan taman hidroponik restoran di
ruang bawah tanah berfungsi sebagai fasilitas pelepasan CO2.
Jadi, setelah digunakan (sudah
mengandung CO2), apron disimpan dalam ruangan hangat di taman hidroponik agar
gas CO2 bisa dilepaskan lalu diserap oleh tanaman.
Ilustrasi pelepasan karbon
dioksida dari kain carbon looper saat dipanaskan, kemudian karbon dioksida
diserap kembali oleh tanaman.
Hingga saat ini, para peneliti
masih mencari kemungkinan metode teknologi penangkapan karbon yang bisa menjadi
solusi permasalahan global terkait cemaran gas CO2 yang kian
meningkat.