Nama Marie Antoinette sering kali
terasosiasi dengan kemewahan yang berlebihan, ketidakpedulian, dan kalimat
legendaris yang mungkin tidak pernah ia ucapkan, "Biarkan mereka makan
kue." Namun, di balik citra tragisnya, permaisuri terakhir Prancis ini
adalah seorang ikon mode sejati yang perannya tak hanya mengubah tren, tetapi
juga tanpa disadari turut andil dalam pemicu Revolusi Prancis.
Marie Antoinette adalah seorang fashion victim, fashion innovator, dan pelopor tren baru yang menggunakan mode
sebagai alat ekspresi pribadi serta mengubah wajah fesyen abad ke-18.
Dari Istana Wina ke Versailles yang Glamor
Lahir dengan nama Maria Antonia
Josepha Johanna di Wina, Austria, Marie Antoinette tiba di Prancis pada usia 14
tahun untuk menikah dengan Louis-Auguste, yang kelak menjadi Raja Louis XVI.
Pernikahan politik ini menempatkannya di pusat salah satu istana termewah di
dunia, Versailles. Di sana, ia dengan cepat menjadi ratu yang berkuasa, tidak
hanya di ranah politik tetapi juga di dunia fesyen.
Marie Antoinette memiliki penjahit
pribadi bernama Rose Bertin, yang kini sering disebut sebagai desainer couture
pertama di dunia. Bersama Bertin, ia mendorong tren fesyen yang kian dramatis.
Gaun-gaunnya yang dikenal sebagai robe à la française memiliki rok yang
sangat lebar, dihiasi dengan pita, renda, dan bordir yang rumit. Namun, ciri
khasnya yang paling ikonik adalah gaya rambut "pouf" yang
menjulang tinggi, sering kali dihiasi dengan miniatur kapal, burung, atau
benda-benda aneh lainnya. Semakin tinggi dan rumit pouf seorang wanita,
semakin tinggi pula status sosialnya.
Revolusi Mode yang Berujung
Kontroversi
Di tengah gaya hidupnya yang
mewah, Marie Antoinette juga memperkenalkan tren yang sangat kontroversial,
yaitu "chemise à la reine". Ini adalah gaun katun muslin putih
yang longgar dan sederhana, menyerupai pakaian dalam. Ia mengenakan gaun ini
saat berada di Petit Trianon, istana pribadinya, di mana ia mencoba menikmati
kehidupan pastoral yang jauh dari etiket ketat istana.
Gaun ini memicu kemarahan publik
dan bangsawan. Bagi mereka, seorang ratu seharusnya tidak mengenakan pakaian
yang begitu sederhana, apalagi yang menyerupai pakaian dalam. Namun, tren ini
justru menyebar luas dan menjadi awal dari pergeseran mode menuju gaya yang lebih
natural dan bebas dari korset yang membatasi.
Simbol Mode yang Menjadi
Sasaran
Sayangnya, pengaruh mode Marie
Antoinette yang luar biasa juga menjadi salah satu penyebab kejatuhannya. Di
saat rakyat Prancis dilanda kemiskinan dan kelaparan, pengeluaran sang ratu
untuk gaun-gaun mewah, perhiasan, dan gaya rambut yang fantastis dianggap
sebagai simbol keangkuhan dan ketidakpedulian monarki. Ia pun dijuluki "Madame
Deficit" (Nyonya Defisit), dan citra borosnya menjadi alat propaganda
ampuh bagi para revolusioner.
Gaya busananya, yang seharusnya menunjukkan kekuasaan dan status, justru menjadi simbol pemborosan yang memicu kemarahan rakyat. Tanpa ia sadari, rok lebar, rambut tinggi, dan gaun-gaun mewahnya menjadi "seragam" monarki yang harus dihancurkan.
Akhir Tragis Marie Antoinette
Pada akhirnya, Marie Antoinette menghadapi takdir tragis. Setelah Revolusi Prancis meletus, ia dieksekusi dengan guillotine pada 16 Oktober 1793, mengakhiri tidak hanya hidupnya, tetapi juga era monarki absolut di Prancis. Ia dikenang sebagai korban dari sistem yang tidak ia ciptakan, tetapi pada saat yang sama, ia tetap menjadi salah satu ikon mode paling berpengaruh dalam sejarah. Dari gaya Rococo yang berlebihan hingga revolusi mode yang lebih sederhana, Marie Antoinette membuktikan bahwa pakaian bukan hanya soal penampilan, melainkan cerminan kekuasaan, identitas, dan, pada kasusnya, takdir.